Masuknya Islam Ke Mesir
Pada
abad 1 H/7 M kehidupan sosial Afrika Utara lebih merupakan kehidupan masyarakat
Barbar yang bersifat kesukuan, dan nomaden.[1] Pada masa nabi Muhammad
Saw, pertama kali ada hubungan dengan Afrika adalah pada saat sahabat Nabi
hijrah ke Habsyi yang mendapat perlakuan baik dari masyarakat maupun dari
penguasanya pada saat itu adalah Raja Najasyi atau Negus.[2] Agama Islam masuk ke
Afrika Utara pada saat daerah tersebut berada di bawah kekuasaan Romawi. Dan
penaklukan daerah yang menjadi kekuasaan Romawi mulai di rintis pada masa
khalifah Umar Bin Khattab pada tahun (639-644M) yang sudah berhasil memasuki
wilayah Mesir setelah mengalahkan tentara Bizantum dan pada saat itu Umar Bin
Khattab berada di bawah pimpinan ‘Amr Ibn Al-Ash. Sepuluh tahun sebelumnya
Mesir berada di bawah kekuasaan Sasania. Kota fustat dijadikan sebagai ibu kota
Islam pertama di bumi Afrika.
Dan
kemudian pada masa kholifahan Utsman Bin Affan penyebaran Islam mulai meluas
hingga ke Barqah dan Tripoli. Namun penaklukan wilayah tersebut tidak
berlangsung lama, karena gubernur Romawi berhasil kembali merebut kedua wilayah
itu. Pada saat dalam kekuasaan Romawi di Afrika Utara banyak masyarakat
mengalami kekerasan dan pemerasan sehingga masyarakat tersebut meminta bantuan
kepada kaum muslim untuk menyerbu bangsa Romawi.
Namun
bantuan itu terrealisasikan pada saat kekholifahan Muawiyyah bin abu sufyan
yaitu kholifah pertama bani umayyah. Ia bertekad memberi pukulan terakhir
tehadap kekuasaan Romawi di Afrika Utara dan mepercayakan tugas tersebut kepada
panglima termasyhur Uqbah Ibn Nafi al-Fikri yang telah menetap di barqah sejak
daerah itu di taklukan.
Dan
kaum muslim mengerahkan 4.000 pasukan dan di bantu oleh empat panglima yaitu
Zubair Bin Awwam, Mekdad Bin Aswad, Ubadah Bin Samit dan mukhollad. Dan
akhirnya pada tahun 642 kaum muqauqis bersedia mengadakan perdamaian dengan
‘Amr Bin al-Ash yang menandai berakhirnya kekuasaan Romawi di Mesir, kemenangan
tersebut tidak lepas dari respon positif yang di berikan oleh rakyat Mesir yang
pada waktu itu memeluk agama kristen. Dan sebagai jaminan keadilan bagi negara
yang tunduk terhadap ‘Amr Bin Ash maka di beri kebebasan untuk memeluk agama.[3]
Islam
mulai menyentuh wilayah Mesir sekitar pada tahun 628 Masehi. Ketika itu,
Rasulullah mengirim surat pada Gubernur Mukaukis yang berada di bawah kekuasaan Romawi, untuk mengajak
masuk Islam.
Pada
639 Masehi, ketika Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab, 3000 pasukan Amru bin Ash
memasuki Mesir dan kemudian diperkuat pasukan Zubair bin Awwam berkekuatan 4000 orang. Mukaukis didukung gereja Kopti menandatangani
perjanjian damai. Sejak itu, Mesir menjadi wilayah kekuasaan pihak Islam. Di
masa kekuasaan keluarga Umayyah, dan kemudian Abbasiyah, Mesir menjadi salah
satu provinsi seperti semula.
Mesir
baru menjadi pusat kekuasaan dan juga peradaban muslim baru pada akhir Abad ke-10. Muiz Lidinillah
membelot dari kekuasaan Abbasiyah di Baghdad, untuk membangun kekhalifahan
sendiri yang berpaham Syi’ah. Ia menamai kekhalifahan itu dengan nama Kekhalifahan Fathimiyah yang diambil dari nama putri
Rasul yang menurunkan para pemimpin Syi’ah, yaitu Fathimah. Pada masa
kekuasaannya (953-975), Muiz menugasi panglima perangnya yang bernama Jawhar
al-Siqili untuk membangun ibu kota.[4]
Di
dataran tepi Sungai
Nil itu kota Kairo dibangun. Khalifah Muiz membangun Masjid Besar Al-Azhar
(dari “Al-Zahra”, nama panggilan Fathimah) yang dirampungkan pada 17 Ramadhan
359 Hijriyah, 970 Masehi. Inilah yang kemudian berkembang menjadi Universitas
Al-Azhar yang kita ketahui sekarang, yang juga merupakan universitas tertua di
dunia saat ini.
Muiz
dan para penggantinya, Aziz Billah (975-996) dan Hakim Biamrillah (996-1021) sangat tertarik pada ilmu
pengetahuan. Peradaban berkembang pesat. Kecemerlangan kota Kairo baik dalam
fisik maupun kehidupan sosialnya mulai menyaingi Baghdad. Khalifah Hakim juga
mendirikan pusat ilmu Bait al-Hikam yang mengoleksi ribuan buku sebagaimana di
Baghdad.
Di
masa tersebut, Ibnu Yunus (wafat 1009) menemukan sistem pendulum pengukur waktu
yang menjadi
dasar arloji mekanik saat ini. Lalu Hasan ibn Haitham menemukan penjelasan fenomena “melihat”. Sebelum itu, orang-orang meyakini bahwa orang
dapat melihat sesuatu karena adanya pancaran sinar dari mata menuju obyek yang
dilihat. Ibnu Haytham menemukan bahwa pancaran sinar itu bukanlah dari mata ke
benda tersebut, melainkan sebaliknya dari benda ke mata.
Gangguan
politik terus-menerus
dari wilayah sekitarnya menjadikan wibawa Fathimiyah merosot. Pada 564 Hijriah
atau 1167 Masehi, Shalahuddin Al-Ayyubi mengambil alih kekuasaan Fathimiyah.
Tokoh Kurdi yang juga pahlawan Perang Salib tersebut membangun Dinasti
Ayyubiyah, yang berdiri disamping Abbasiyah di Baghdad yang semakin lemah.
Shalahuddin
tidak menghancurkan Kairo yang dibangun Fathimiyah. Ia malah melanjutkannya sama antusiasnya. Ia hanya mengubah paham keagamaan negara dari Syi’ah menjadi Sunni.
Sekolah, masjid, rumah sakit, sarana rehabilitasi penderita sakit jiwa, dan
banyak fasilitas sosial lainnya dibangun. Pada 1250 -delapan tahun sebelum
Baghdad diratakan dengan tanah oleh Hulagu atau bangsa Mongol- kekuasaan
diambil alih oleh kalangan keturunan Turki, pegawai istana keturunan para budak
(Mamluk).
Di
Istana, saat itu terjadi persaingan antara militer asal Turki dan Kurdi. Sultan
yang baru naik, Turansyah, dianggap terlalu dekat Kurdi. Tokoh militer Turki, Aybak bersekongkol dengan
ibu tiri Turansyah, Syajarah. Turansyah dibunuh. Aybak dan Syajarah menikah.
Namun Aybak juga membunuh Syajarah, dan kemudian Musa, keturunan Ayyubiyah,
yang sempat diangkatnya.[5]
Disaat
Aybak menyebar
teror itu, tokoh berpengaruh Mamluk bernama Baybars mengasingkan diri ke Syria.
Ia baru balik ke Mesir, setelah Aybak wafat dan Ali -anak Aybak- mengundurkan
diri untuk digantikan Qutuz. Qutuz dan Baibars bertempur bersama untuk menahan
laju penghancuran total oleh pasukan Hulagu. Di Ain Jalut, Palestina, pada 13
September 1260 mereka berhasil mengalahkan pasukan Mongol itu. Baybars
(1260-1277) yang dianggap menjadi peletak pondasi Dinasti Mamluk yang
sesungguhnya. Ia mengangkat keturunan Abbasiyah yang telah dihancurkan Hulagu
di Baghdad untuk menjadi khalifah. Ia merenovasi masjid dan Universitas
Al-Azhar. Kairo dijadikannya sebagai pusat peradaban dunia. Ibnu Batutah yang
berkunjung ke Mesir sekitar 1326 tak henti mengagumi Kairo yang waktu itu
berpenduduk sekitar 500-600 ribu jiwa atau 15 kali lebih banyak dibanding
London di saat yang sama.
Ibnu
Batutah tak hanya mengagumi ‘rihlah’, tempat studi keagamaan yang ada hampir di setiap masjid. Ia
terpesona pada pusat layanan kesehatan yang sangat rapi dan “gratis”. Sedangkan Ibnu Khaldun menyebut: “mengenai
dinasti-dinasti di zaman kita, yang paling besar adalah orang-orang Turki yang
ada di Mesir.” Pusat peradaban ini nyaris hancur di saat petualang barbar Timur
Lenk melakukan invasi ke barat. Namun, Sultan Barquq berhasil menahan laju
pasukan Mongol tersebut. Dengan demikian, Mamluk merupakan pusat kekuasaan yang
dua kali mampu mengalahkan tentara Mongol.
Pada
akhir abad ke-15, perekonomian di Mesir menurun. Para pedagang Eropa melalui
laut tengah tak lagi harus tergantung pada Mesir untuk dapat berdagang ke Asia.
Pada 1498, mereka “menemukan” Tanjung Harapan di Afrika Selatan sebagai pintu perdagangan laut ke Asia. Pada 1517, Kesultanan Utsmani di
Turki menyerbu Kairo dan mengakhiri sejarah 47 sultan di Dinasti Mamluk
tersebut.
[1] Dudung
Abdurrahman, dkk. Sejarah Peradaban Islam Masa Klasik Hingga Modern. ( Yogyakarta: Lesfi, 2004).
hlm 220
[2]
Abdul, Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam. (Yogyakarta: BAGASKARA. 2007). Hlm. 184
[3] Dudung
Abdurrahman, Dkk. Sejarah Peradaban Islam Masa Klasik Hingga Modern.
(Yogyakarta: Lesfi.2004). Hlm 221-222
[4] Ahmad
Al-Usairy, Al-Tarikhu Al-Islami, Terj Samson Rahman, Sejarah Islam: Sejah Nabi
Adam Hingga Abad XX, ( Jakarta : Akbar Media 2012) H. 157
Komentar
Posting Komentar