Macam-Macam Shalat Sunnah

 


A.      Pengertian Shalat Sunnah

Shalat sunnah yang juga biasa disebut dengan shalat tathawwu, shalat nafilah atau nawafil  adalah shalat-shalat di luar shalat fardhu yang wajib dikerjakan dalam sehari semalam. Dalam hadis riwayat Abu Daud disebutkan bahwa shalat-shalat sunnah disyariatkan agar menjadi penyempurna bagi kekurangan-kekurangan yang mungkin terjadi ketika melaksanakan shalat-shalat fardhu.[1]

B.       Macam-Macam Shalat Sunnah

Macam-macam shalat sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh umat Islam, diantaranya:

1.         Shalat sunnah rawatib

Shalat rawatib adalah shalat sunnah yang dikerjakan mengiringi shalat fardhu, baik sebelumnya (qabliyyah) maupun sesudahnya (ba’diyyah). Shalat sunnah rawatib yang ermasuk qabliyyah adalah:

a.    Dua rakaat sebelum shalat subuh atau disebut juga shalat sunnah fajar (sangat dianjurkan/muakkadah).

b.    Dua rakaat sebelum dhuhur (sangat dianjurkan/muakkadah).

c.    Dua rakaat sebelum shalat ashar (dianjurkan/ghairu muakkadah).

d.    Dua rakaat sebelum shalat maghrib (dianjurkan/ghairu muakkadah).

Adapun yang termasuk shalat sunnah ba’diyyah adalah:

a.    Dua rakaat sesudah shalat dhuhur (sangat dianjurkan/muakkadah).

b.    Dua rakaat sesudah shalat maghrib (sangat dianjurkan/muakkadah).

c.    Dua rakaat sesudah shalat isya’ (sangat dianjurkan/muakkadah).

d.    Dua rakaat menambah dua rakaat sesudah shalat dhuhur (dianjurkan/ghairu muakkadah).[2]

Contoh niat shalat sunnah qabliyah dan ba’diyah:

Niat shalat sunnah qabliyah:

أُصَلِّيْ سُنَّةَ الظُّهْرِرَكْعَتَيْنِ قبلية لِلَّهِ تَعَالَى

Niat shalat sunnah ba’diyah:

أُصَلِّيْ سُنَّةَ الظُّهْرِبعدية رَ كْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى

Dari semua shalat rawatib tersebut yang paling dianjurkan untuk dilaksanakan adalah dua rakaat sebelum shalat subuh (shalat fajar) karena pahalanya sangat besar.

2.         Shalat Witir

Shalat witir adalah shalat sunnah yang jumlah rakaatnya ganjil dan dikerjakan pada malam hari. Jumlah rakaat shalat witir bisa 1 rakaat, 3, 5, 7, 9 dan paling banyak 11 rakaat. Sementara itu, waktunya sama dengan shalat lail, yakni sesudah shalat isya sampai dengan terbit fajar atau menjelang subuh. Dan hukum mengerjakan shalat witir adalah sunnah muakkad.

Cara mengerjakan shalat witir bila lebih dari satu rakaat bisa setiap dua rakaat salam dan yang terakhir dengan satu rakaat salam. Bila mengerjakan shalat witir 3 rakaat dn tidak memilih dengan dua rakaat salam, maka bisa juga dengan 3 rakaat sekaligus baru salam, tidak memakai tasyahud awal.[3]

Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, yang dibaca dalam shalat witir adalah surat An-Nas, Al-Falaq dan Al-Ikhlas. Sesungguhnya, orang yang mengerjakan shalat witir adalah orang yang mengesakan Allah dan menuju ke arah kebahagiaan. Itu sangat tidak disukai oleh iblis.[4]

3.         Shalat tahajjud

Shalat tahajjud adalah shalat sunnah yang dikerjakan pada malam hari setelah shalat isya dan dilakukan sesudah tidur, walaupun hanya sebentar. Hukum melaksanakan shalat tahajjud adalah sunnah muakkadah, yaitu sangat dianjurkan sebab menurut hadis nabi, shalat yang paling utama dikerjakan setelah shalat fardhu adalah shalat tahajjud.[5]

Shalat tahajjud dapat dikerjakan mulai dari setelah shalat isya sampai masuknya waktu fajar. Akan tetapi yang lebih afdhal ialah di akhir waktu malam, ketika kebanyakan manusia sedang tertidur lelap, lalai akan Tuhannya, dan merasa berat untuk bangun tidur di tengah malam untuk bersuci kemudian shalat.[6]

Jumlah rakaat shalat tahajjud minimal 2 rakaat dan maksimal semampu yang melaksanakan. Rasulullah SAW pernah mengerjakan shalat tahajjud sebanyak 10 rakaat ditambah 1 rakaat witir, 8 rakaat ditambah 1 rakaat sunnah witir, dan 8 rakaaat ditambah 3 rakaat sunnah witir. Jika shalat tahajjud yang dikerjakan lebih dari 2 rakaat, maka hendaknya dilakukan dengan 2 rakaat 1 salam. Sedangkan untuk shalat witir, jika lebih dari 1 rakaat, maka boleh dilakukan dengan 3 rakaat satu salam atau 2 rakaat salam lalu diteruskan 1 rakaat  lalu salam.[7]

Untuk cara pelaksanakan shalat tahajjud sama dengan cara pelaksanaan shalat fardhu atau shalat pada umumnya, baik gerakan maupun bacaannya, yang membedakan hanyalah pada niatnya, yaitu:

أُصَلِّيْ سُنَّةَ التَّهَجُّدِ رَكْعَتَيْنِ لِلّهِ تَعَالىَ

4.         Shalat tarawih

Tarawih (kata tunggalnya tarwihah) menurut bahasa, berarti istirahat. Istirahat di sini berarti istirahat setelah setiap 4 rakaat shalat sunnah (tarawih) di bulan ramadhan (disebabkan panjangnya ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca pada masa itu dalam setiap rakaatnya). Sedangkan dalam hadis, istilah yang digunakan ialah qiyam ramadhan dan kata tarawih tampaknya baru digunakan sejak masa Umar bin Khatab r.a menjabat sebagai khalifah. Shalat tarawih ini boleh dikerjakan secara berjamaah ataupun sendiri-sendiri, di masjid ataupun di rumah. Adapun niatnya, yaitu:

أُصَلِّيْ سُنَّةَ ترويه رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى

Mengenai jumlah rakaat shalat tarawih terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagian ulama menganjurkan shalat tarawih sebanyak 8 rakaat, ditambah dengan 3 rakaat witir, seperti kebiasaan Nabi SAW. Alasannya, telah dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah r.a, bahwa Nabi SAW. tidak pernah shalat sunnah malam hari lebih daripada 11 rakaat (termasuk 3 rakaat witir), baik di bulan Ramadhan maupun bulan-bulan lainnya. Kemudian sebagian ulama lain menganjurkan sebanyak 20 rakaat ditambah 3 rakaat witir. Alasannya, telah diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa pada masa Umar, Usman dan Ali, kaum Muslim melaksanakan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat. Dan jumlah itulah yang disetujui mayoritas para ahli fiqih dari kalangan madzhab Hanafi, Hanbali, Syafi’i, Daud, Ats-Sauri dan lain-lain.[8]

5.         Shalat tahiyyatul masjid

Apabila memasuki masjid, baik pada hari Jum’at atau bukan, pada waktu siang atau malam hari, kita disunnahkan untuk mengerjakan shalat tahiyyatul masjid sebanyak 2 rakaat. Shalat ini dikerjakan untuk menghormati rabbul masjid, Allah SWT. Shalat ini dikerjakan sebelum kita duduk di dalam masjid. Dari Abi Qatadah, ia berkata, Rasulullah SAW. telah bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْء الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسُ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَـتَيْنِ (رواه الججماعة)

“ Apabila salah seorang di antara kamu masuk masjid, hendaklah ia tidak duduk sebelum melakukan shalat dua rakaat.” (H.R Jamaah)[9]

Adapun niat shalat tahiyyatul masjid, yaitu:

أُصَلِّيْ سُنَّةَ تاهياتوالمسجد رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى

6.         Shalat dhuha

Shalat dhuha adalah shalat sunnah yang dikerjakan pada waku dhuha, yakni ketika matahari sudah naik kira-kira setinggi tombak sampai dengan menjelang waktu dhuhur. Apabila diukur dengan jam, kira-kira pukul 07.00 pagi sampai dengan pukul 11.00 siang. Shalat dhuha dikerjakan dengan 2, 4, 6, 8, atau 12 rakaat.[10]

Tatacara pelaksanaannya:

a.    Niat shalat dhuha dua rakaat, yaitu

أُصَلِّيْ سُنَّةَ الضُّحَى رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى

b.    Pada rakaat pertama disunnahkan membaca surat Al-Syams setelah membaca surat Al-Fatihah, sedangkan pada rakaat kedua disunnahkan membaca surat Ad-Dhuha. Dan untuk rakaat-rakaat berikutnya, setiap rakaat pertama membaca surat Al-Kafirun sedangkan rakaat kedua surat Al-Ikhlash.[11]

7.         Shalat tasbih

Shalat tasbih adalah shalat sunnah untuk mengagungkan Allah SWT. kan kesucian-Nya. Shalat tasbih dilakukan agar Allah SWT. Yang Maha Suci membersihkan dosa-dosa yang telah kita lakukan, baik besar maupun kecil, baik yang baru dilakukanmaupun yang sudah lama dilakukan, baik yng dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja, dan yang dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan.

Adapun tata cara pelaksanaannya sebagai berikut:

a)    Jika dikerjakan pada siang hari, maka shalat tasbih dilakukan sebanyk empat rakaat dengan satu malam.

b)   Adapun jika dikerjakan pada malam hari, maka dilakukan sebanyak empat rakaat dengan dua salam.

c)    Berdiri lurus menghadap kiblat kemudian berniat:

أُصَلِّي سُنَّةَ اْلتَّسْبِيْحِ رَكْعَتَيْن/ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ لِلَّهِ تَعَالَى

d)   Selesai membaca doa iftitah, Al-Fatihah dan surat dalam Al-Qur’an (sebelum ruku’), kemudian membaca kalimat tasbih sebanyak 15 kali.

e)    Kemudian ruku’, dan setelah membaca tasbih ruku’, lalu membaca pula tasbih seperti diatas sebanyak 10 kali, kemudian i’tidal.

f)    Setelah selesai membaca doa i’tidal, kemudian membaca pula tasbih 10 kali, lalu sujud.

g)   Di waktu sujud (sehabis tasbih sujud), kemudian membaca pula tasbih 10 kali, lalu duduk diantara dua sujud.

h)   Setelah selesai membac duduk di antara dua sujud, kemudian membaca tasbih 10 kali, lalu sujud kedua.

i)     Setelah selesai membaca tasbih sujud, kemudian membaca tasbih 10 kali.

j)     Menjelang berdiri ke rakaat kedua, hendaknya duduk istirahah sambil membaca tasbih sebanyak 10 kali.

Jadi, dalam 1 rakaat jumlah bacaan tasbih yang harus dibaca sebanyak 75 kali. Jika shalat tasbih yang dikerjakan 4 rakaat maka harus membaca tasbih sebanyak 75 x 4 = 300 kali.[12]

8.         Shalat gerhana (Shalat kusufain)

Shalat kusufain adalah shalat dua gerhana, yakni gerhana bulan dan gerhana matahari. Ketika gerhana bulan kita melakukan shalat khusuf, sedangkan ketika terjadi gerhana matahari kita melakukan shalat kusuf. Kedua shalat itu hukumnya sunnah muakkad dan hendaknya dilakukan dengan berjamaah.

Waktu melaksanakan shalat gerhana matahari yaitu dari timbul gerhana sampai matahari kembali seperti biasa, atau sampai terbenam. Sedang shalat gerhana bulan, waktunya mulai dari terjadinya gerhana itu sampai terbit kembali, atau sampai bulan nampak utuh.

Adapun tatacara pelaksanaannya, yaitu:

a)    Shalat dua rakaat sebagaimana shalat biasa, boleh dilakukan sendiri-sendiri atau berjamaah.

b)   Disunnahkan berjamaah di Masjid dengan anpa adzan. Panggilan shalat cukup dengan ألصلاة جامعة

c)    Shalat dua rakaat dengan 4 kali ruku dan 4 kali sujud, yakni pada rakaat pertama sesudah ruku dan i’tidal membaca surat Fatihah lagi kemudian ruku sekali lagi dan i’tidal lagi, kemudian sujud sebagaimana biasanya.

d)   Pada rakaat kedua juga dilakukan seperti pada rakaat yang pertama. Jadi, shalat gerhana itu semuanya ada 4 ruku, 4 Fatihah dan 4 sujud.[13]

e)    Menurut Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i, bacaan Fatihah dan surat dalam shalat gerhana bulan dikeraskan (jahr), sedang dalam shalat gerhana matahari, Fatihah dan surat-surat yang lain dibaca pelan. Ini untuk orang-orang yang masih merasa terbebani tajalli, sehingga tidak mampu untuk membaca keras.

f)    Menurut Abu Hanifah dan Ahmad, dalam shalat gerhana matahari atau bulan, tidak disunnahkan khutbah. Ini untuk orang-orang sufi yang merasa gentar menyaksikan gerhana. Mereka tidak perlu diberi khutbah, mauidlah, atau yang lain. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, disunnahkan untuk melaksanakan khutbah sebagaimana khutbah Jum’at. Ini untuk yang terhijab, agar peristiwa-peristiwa seperti itu tidak menimbulkan rasa takut dan gelisah. Mereka diberi khutbah sebagai peringatan tentang hari akhir, agar rajin untuk berbuat baik dan meninggalkan maksiat. [14]

Adapun niat shalat gerhana bulan, yaitu:

أُصَلِّيْ سُنَّةَ لِخُسُوْفِ الْقَمَرِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى

Sedangkan niat shalat gerhana matahari, yaitu:

أُصَلِّيْ سُنَّةَ لِكُسُوْفِ الشَّمسِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى

9.         Shalat istisqa

Apabila terjadi kemarau panjang, sungai dan sumber air mulai kekeringan, tanaman juga tidak dapat tumbuh dengan subur bahkan diantaranya mati, maka sunnah hukumnya untuk meminta turunnya hujan kepada Allah SWT. Permintaan tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara:

a.       Berdoa kepada Allah SWT. agar menurunkan hujan.

b.      Berdoa kepada Allah SWT. agar menurunkan hujan di dalam khutbah Jum’at.

c.       Berdoa kepada Allah SWT. agar menurunkan hujan dengan cara shalat istisqa.

Shalat istisqa dilaksanakan dengan dua rakaat secara berjamaah di tanah lapang tanpa didahului adzan dan iqamah. Waktu pelaksanannya adalah ketika matahari telah naik. Sebelum melaksanakannya, lebih utama apabila imam mengajak orang-orang untuk berpusa selma tiga hari berturut-tuirut (sebagian ulama berpendapat puasa empat hari). Selama tiga hari itu pula hendaknya memperbanyak memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah SWT., bersedekah, dan beramal saleh. Pada hari keempat (dalam keadaan puasa) ketika matahari sedang naik, semua orang berangkat bersama-sama ke tanah lapang. Hendaknya menggunakan pakaian yang sederhana dan dengan hati yang khusyuk guna memohon rahmat-Nya.

Pada rakaat pertama dianjurkan untuk membaca Surat Al-A’la setelah fatihah dan membaca surat Al-Ghasiyyah pada rakaat kedua. Dan setelah selesaai mengerjakan sholat istisqa, imam berdiri untuk menyampaikan khutbah. Imam hendaknya berkhutbah dengan menggunakan selendang. Pada khutbah yang pertama, hendaknya diawali dengan membaca istighfar sebanyak sembilan kali dan pada khutbah kedua diawali dengan membaca istighfar sebanyak tujuh kali. Khutbah yang disampaikan berisi ajakan untuk memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah SWT. dan membangun keyakinan bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Pemurah dan akan mengabulkan doa hamba-Nya. Pada khutbah kedua, Khotib hendaknyanmenghadap kiblat, mengubah posisi selendang dari kanan kekiri dan yang diatas dipindah ke bawah, serta mengangkat kedua tangannya lebih tinggi dari biasanya.[15]

Adapun niat shalat istisqa, yaitu:

أُصَلِّيْ سُنَّةَ اْلإِسْتِسْقَاءِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى

10.     Shalat hari raya

Di dalam Islam ada dua hari raya, yakni Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada 1 Syawal dan Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada 10 Dzulhijah. Dalam dua hari raya tersebut, hukumnya sunnah muakkad untuk melakukan shalat Idul Fitri dan shalat Idul Adha. Shalat ini dikerjakan dengan dua rakat, tidak didahului dengan adzan dan iqamah, dan setelah shalat dilanjutkan dengan khutbah hari raya.

Shalat Idul Fitri dan shalat Idul Adha sama-sama dilaksanakan pada pagi hari. Akan tetapi, ada sedikit perbedaan waktu antara keduanya. Shalat Idul Fitri dilaksanakan ketika matahari kira-kira setinggi dua tombak (kira-kira pukul 07.00 waktu setempat), Sedangkan shalat Idul Adha dilaksanakan ketika matahari setinggi satu tombak (kira-kira pukul 06.30 waktu setempat). Sementara itu, batas akhirnya sama-sama sampai dengan tergelincirnya matahari.

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى بِنَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَالشَّمْسُ عَلَى قَيْدِ رُمْحَيْنِ وَ الْأَضْحَى عَلَى قَيْدِ  رُمْحٍ (رواه احمد بن حسن البنى)

"Nabi SAW. shalat Idul Fitri bersama kami ketika matahari setinggi kira-kira dua tombak dan shalat Idul Adha ketika matahari setinggi kira-kira satu tombak.” (HR. Ahmad bin Hasan Al-Banna)[16]

Adapun tata cara shalat ied, yaitu:

a.    Niat

b.    Setelah takbiratul ikhram dan sebelum membaca surat Al-Fatihah disunnahkan takbir sebanyak tujuh kali (tidak termasuk takbiratul ikhram). Di antara ketujuh takbir tersebut, disunnahkan membaca kalimat tasbih, yaitu: سُبْحَانَ اللّهِ وَ الْحَمْدُ للّهِ وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللّهُ وَ اللّهُ أَكْبَرْ

c.    Pada rakaat kedua, sebelum membaca surat Al-Fatihah, disunnahkan takbir sebanyak lima kali (tidak termasuk takbir karena berdiri dari sujud).

d.    Pada ketujuh takbir di rakaat pertama, disunnahkan mengangkat kedua tangan seperti pada saat akbiratul ikhram. Hal ini juga berlaku bagi kelima takbir pada rakaat kedua.

e.    Bagi imam dan makmum disunnahkan mengeraskan bacaan takbir.

f.     Sesudah shalat disunnahkan khutbah dua kali, sebagaimana khutbah dua jum’at baik rukun ataupun sunnah-sunnahnya, namun permulaan khutbah yang pertama disunnahkan membaca takbir sembilan kali secara muwalah dan saat permulaan khutbah yang kedua disunnahkan membaca takbir tujuh kali (juga secara muwalah).

Hal-hal yang sunnah dilakukan pada saat hari raya, diantaranya:

a.    Mengisi malam hari raya dengan memperbanyak zikir, shalat, membaca Al-Qur’an, takbir, tasbih atau istighfar.

b.    Mandi, sikat gigi, memakai wangi-wangian dan memakai pakaian yang paling bagus (khusus bagi laki-laki).

c.    Bersedekah (selain zakat fitrah), kepada keluarga atau sanak kerabat.

d.    Menampakkan wajah gembira ketika bertemu dengan orang lain.

e.    Saling bersilaurrahim dan memperkuat persaudaraan (ukhuwah).

f.     Mengerjakan shalat sunnah mutlak sebelum khutbah.

g.    Mkan sebelum pergi shalat hari raya fitri, sedangkan pada hari raya adha disunnahkan tidak makan sebelum shala dilaksanakan.

h.    Berangkat pagi-pagi sekali.[17]

11.     Shalat sunnah mutlaq

Shalat sunnah mutlaq artinya shalat sunnah yang tidak ditentukan waktunya dan tidak ada sebab juga jumlah rakaatnya tidak ada batas, berapa saja, dua rakaat atau lebih. Caranya seperti shalat sunnah yang lain. Meskipun shalat sunnah mutlaq tidak mempunyai waktu tertentu dan boleh dikerjakan kapanpun, kecuali pada waktu-waktu berikut:

a.    Sesudah shalat subuh sampai terbit matahari.

b.    Sesudah shalat ashar sampai terbenam matahari.

c.    Tatkala istiwa (tengah hari) selain hari Jum’at.

d.    Tatkala terbit matahari sampai setinggi tombak (jam 08.00 – 09.00) jam zawaliyah.

e.    Tatkala hampir terbenam matahari sampai terbenamnya.[18]

12.     Shalat istikharah

Shalat istikharah artinya shalat meminta petunjuk yang baik. Shalat ini dianjurkan bagi seseorang yang bingung untuk memilih yang terbaik diantara berbagai pilihan, baik yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Adapun tatacara pelaksanaannya:

a.    Shalat ini dilakukan dengan dua rakaat yang diawali dengan niat.

أُصَلِّيْ سُنَّةَ إيستيخاراتي رَكْعَتَيْنِ لِلّهِ تَعَالىَ

b.    Pada rakaat pertama, membaca surat al-Fatihah yang dilanjutkan dengan membaca surat al-Kafirun.

c.    Pada rakaat kedua juga membaca surat al-Fatihah yang dilanjutkan dengan membaca surat al-Ikhlas.

d.    Tatacara yang lain sama dengan shalat pada umumnya. Hanya saja setelah salam membaca doa istikharah.[19]



[1] Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 159

[2]Ma’had Al-Jami’ah , Modul Baca Tulis Al-Qur’an (BTA) & Pengetahuan dan Pengamalan Ibadah (PPI), (Purwokerto: Ma’had Al-Jami’ah IAIN Purwokerto, 2015), hlm. 103-104

 

[3] Akhmad Muhaimin Azzet, Pedoman Praktis Shalat Wajib dan Sunnah, (Jogjakarta: Javalitera, 2011), hlm. 145-146.

[4] Ach. Khudori Soleh, Fiqih Kontekstual: (perspektif sufi-falsafi), (Jakarta: Pertja, 1998), hlm.91.

[5]Ma’had Al-Jami’ah, Modul Baca Tulis Al-Qur’an (BTA)..., hlm. 104.

[6] Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama..., hlm. 167.

[7]Ma’had Al-Jami’ah, Modul Baca Tulis Al-Qur’an (BTA)..., hlm. 104-105.

[8] Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama..., hlm. 171-172.

[9] Akhmad Muhaimin Azzet, Pedoman Praktis Shalat Wajib dan Sunnah, (Jogjakarta: Javalitera, 2011), hlm. 147.

[10] Akhmad Muhaimin Azzet, Pedoman Praktis Shalat..., hlm. 151.

[11]Ma’had Al-Jami’ah, Modul Baca Tulis Al-Qur’an (BTA)..., hlm. 108-109.

[12]Ma’had Al-Jami’ah, Modul Baca Tulis Al-Qur’an (BTA)..., hlm. 117-118.

[13]Ma’had Al-Jami’ah, Modul Baca Tulis Al-Qur’an (BTA)..., hlm. 111-112.

[14] Ach. Khudori Soleh, Fiqih Kontekstual..., hlm. 171.

[15] Akhmad Muhaimin Azzet, Pedoman Praktis Shalat Wajib dan Sunnah...,174-177.

[16] Akhmad Muhaimin Azzet, Pedoman Praktis Shalat Wajib dan Sunnah...,165-166.

 

[17]Ma’had Al-Jami’ah, Modul Baca Tulis Al-Qur’an (BTA)..., hlm. 110-111.

[18] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: CV Sinar Baru, 1986), hlm. 150-151.

[19] Ma’had Al-Jami’ah, Modul Baca Tulis Al-Qur’an (BTA)..., hlm. 106-107.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Soal Menghitung Zakat Fitrah

Contoh Teks MC Pelantikan Pengurus

Materi PAI Kelas 6 Bab 4 Ayo Membayar Zakat ppt