Macam-Macam Shalat Sunnah
A. Pengertian Shalat Sunnah
Shalat sunnah
yang juga biasa disebut dengan shalat tathawwu, shalat nafilah atau
nawafil adalah shalat-shalat di
luar shalat fardhu yang wajib dikerjakan dalam sehari semalam. Dalam hadis
riwayat Abu Daud disebutkan bahwa shalat-shalat sunnah disyariatkan agar
menjadi penyempurna bagi kekurangan-kekurangan yang mungkin terjadi ketika
melaksanakan shalat-shalat fardhu.[1]
B.
Macam-Macam
Shalat Sunnah
Macam-macam
shalat sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh umat Islam, diantaranya:
1.
Shalat sunnah
rawatib
Shalat rawatib
adalah shalat sunnah yang dikerjakan mengiringi shalat fardhu, baik sebelumnya
(qabliyyah) maupun sesudahnya (ba’diyyah). Shalat sunnah rawatib
yang ermasuk qabliyyah adalah:
a.
Dua rakaat
sebelum shalat subuh atau disebut juga shalat sunnah fajar (sangat
dianjurkan/muakkadah).
b.
Dua rakaat
sebelum dhuhur (sangat dianjurkan/muakkadah).
c.
Dua rakaat
sebelum shalat ashar (dianjurkan/ghairu muakkadah).
d.
Dua rakaat
sebelum shalat maghrib (dianjurkan/ghairu muakkadah).
Adapun yang termasuk
shalat sunnah ba’diyyah adalah:
a.
Dua rakaat
sesudah shalat dhuhur (sangat dianjurkan/muakkadah).
b.
Dua rakaat
sesudah shalat maghrib (sangat dianjurkan/muakkadah).
c.
Dua rakaat
sesudah shalat isya’ (sangat dianjurkan/muakkadah).
d.
Dua rakaat
menambah dua rakaat sesudah shalat dhuhur (dianjurkan/ghairu muakkadah).[2]
Contoh niat shalat sunnah qabliyah dan ba’diyah:
Niat shalat sunnah qabliyah:
أُصَلِّيْ سُنَّةَ الظُّهْرِرَكْعَتَيْنِ قبلية لِلَّهِ تَعَالَى
Niat shalat
sunnah ba’diyah:
أُصَلِّيْ سُنَّةَ الظُّهْرِبعدية رَ كْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى
Dari semua
shalat rawatib tersebut yang paling dianjurkan untuk dilaksanakan adalah dua
rakaat sebelum shalat subuh (shalat fajar) karena pahalanya sangat besar.
2.
Shalat Witir
Shalat witir adalah
shalat sunnah yang jumlah rakaatnya ganjil dan dikerjakan pada malam hari.
Jumlah rakaat shalat witir bisa 1 rakaat, 3, 5, 7, 9 dan paling banyak 11
rakaat. Sementara itu, waktunya sama dengan shalat lail, yakni sesudah shalat
isya sampai dengan terbit fajar atau menjelang subuh. Dan hukum mengerjakan
shalat witir adalah sunnah muakkad.
Cara mengerjakan
shalat witir bila lebih dari satu rakaat bisa setiap dua rakaat salam dan yang
terakhir dengan satu rakaat salam. Bila mengerjakan shalat witir 3 rakaat dn
tidak memilih dengan dua rakaat salam, maka bisa juga dengan 3 rakaat sekaligus
baru salam, tidak memakai tasyahud awal.[3]
Menurut Imam
Malik dan Imam Syafi’i, yang dibaca dalam shalat witir adalah surat An-Nas,
Al-Falaq dan Al-Ikhlas. Sesungguhnya, orang yang mengerjakan shalat witir adalah
orang yang mengesakan Allah dan menuju ke arah kebahagiaan. Itu sangat tidak
disukai oleh iblis.[4]
3.
Shalat tahajjud
Shalat tahajjud
adalah shalat sunnah yang dikerjakan pada malam hari setelah shalat isya dan
dilakukan sesudah tidur, walaupun hanya sebentar. Hukum melaksanakan shalat tahajjud
adalah sunnah muakkadah, yaitu sangat dianjurkan sebab menurut hadis nabi,
shalat yang paling utama dikerjakan setelah shalat fardhu adalah shalat tahajjud.[5]
Shalat tahajjud
dapat dikerjakan mulai dari setelah shalat isya sampai masuknya waktu fajar. Akan
tetapi yang lebih afdhal ialah di akhir waktu malam, ketika kebanyakan manusia
sedang tertidur lelap, lalai akan Tuhannya, dan merasa berat untuk bangun tidur
di tengah malam untuk bersuci kemudian shalat.[6]
Jumlah rakaat
shalat tahajjud minimal 2 rakaat dan maksimal semampu yang melaksanakan.
Rasulullah SAW pernah mengerjakan shalat tahajjud sebanyak 10 rakaat ditambah 1
rakaat witir, 8 rakaat ditambah 1 rakaat sunnah witir, dan 8 rakaaat ditambah 3
rakaat sunnah witir. Jika shalat tahajjud yang dikerjakan lebih dari 2 rakaat,
maka hendaknya dilakukan dengan 2 rakaat 1 salam. Sedangkan untuk shalat witir,
jika lebih dari 1 rakaat, maka boleh dilakukan dengan 3 rakaat satu salam atau
2 rakaat salam lalu diteruskan 1 rakaat lalu salam.[7]
Untuk cara pelaksanakan
shalat tahajjud sama dengan cara pelaksanaan shalat fardhu atau shalat pada
umumnya, baik gerakan maupun bacaannya, yang membedakan hanyalah pada niatnya,
yaitu:
أُصَلِّيْ سُنَّةَ التَّهَجُّدِ رَكْعَتَيْنِ لِلّهِ تَعَالىَ
4.
Shalat tarawih
Tarawih (kata
tunggalnya tarwihah) menurut bahasa, berarti istirahat. Istirahat di sini
berarti istirahat setelah setiap 4 rakaat shalat sunnah (tarawih) di bulan
ramadhan (disebabkan panjangnya ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca pada masa itu
dalam setiap rakaatnya). Sedangkan dalam hadis, istilah yang digunakan ialah
qiyam ramadhan dan kata tarawih tampaknya baru digunakan sejak masa Umar bin
Khatab r.a menjabat sebagai khalifah. Shalat tarawih ini boleh dikerjakan
secara berjamaah ataupun sendiri-sendiri, di masjid ataupun di rumah. Adapun
niatnya, yaitu:
أُصَلِّيْ سُنَّةَ ترويه رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى
Mengenai jumlah
rakaat shalat tarawih terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagian
ulama menganjurkan shalat tarawih sebanyak 8 rakaat, ditambah dengan 3 rakaat
witir, seperti kebiasaan Nabi SAW. Alasannya, telah dirawikan oleh Bukhari dan
Muslim dari ‘Aisyah r.a, bahwa Nabi SAW. tidak pernah shalat sunnah malam hari
lebih daripada 11 rakaat (termasuk 3 rakaat witir), baik di bulan Ramadhan maupun
bulan-bulan lainnya. Kemudian sebagian ulama lain menganjurkan sebanyak 20
rakaat ditambah 3 rakaat witir. Alasannya, telah diriwayatkan oleh Tirmidzi
bahwa pada masa Umar, Usman dan Ali, kaum Muslim melaksanakan shalat tarawih
sebanyak 20 rakaat. Dan jumlah itulah yang disetujui mayoritas para ahli fiqih
dari kalangan madzhab Hanafi, Hanbali, Syafi’i, Daud, Ats-Sauri dan lain-lain.[8]
5.
Shalat
tahiyyatul masjid
Apabila
memasuki masjid, baik pada hari Jum’at atau bukan, pada waktu siang atau malam hari,
kita disunnahkan untuk mengerjakan shalat tahiyyatul masjid sebanyak 2 rakaat.
Shalat ini dikerjakan untuk menghormati rabbul masjid, Allah SWT. Shalat ini
dikerjakan sebelum kita duduk di dalam masjid. Dari Abi Qatadah, ia berkata,
Rasulullah SAW. telah bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْء الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسُ حَتَّى
يُصَلِّيَ رَكْعَـتَيْنِ (رواه الججماعة)
“ Apabila salah seorang
di antara kamu masuk masjid, hendaklah ia tidak duduk sebelum
melakukan shalat dua rakaat.” (H.R Jamaah)[9]
Adapun niat
shalat tahiyyatul masjid, yaitu:
أُصَلِّيْ
سُنَّةَ تاهياتوالمسجد رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى
6.
Shalat dhuha
Shalat dhuha
adalah shalat sunnah yang dikerjakan pada waku dhuha, yakni ketika matahari
sudah naik kira-kira setinggi tombak sampai dengan menjelang waktu dhuhur.
Apabila diukur dengan jam, kira-kira pukul 07.00 pagi sampai dengan pukul 11.00
siang. Shalat dhuha dikerjakan dengan 2, 4, 6, 8, atau 12 rakaat.[10]
Tatacara
pelaksanaannya:
a.
Niat shalat
dhuha dua rakaat, yaitu
أُصَلِّيْ سُنَّةَ الضُّحَى رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى
b.
Pada rakaat
pertama disunnahkan membaca surat Al-Syams setelah membaca surat Al-Fatihah,
sedangkan pada rakaat kedua disunnahkan membaca surat Ad-Dhuha. Dan untuk
rakaat-rakaat berikutnya, setiap rakaat pertama membaca surat Al-Kafirun
sedangkan rakaat kedua surat Al-Ikhlash.[11]
7.
Shalat tasbih
Shalat tasbih
adalah shalat sunnah untuk mengagungkan Allah SWT. kan kesucian-Nya. Shalat
tasbih dilakukan agar Allah SWT. Yang Maha Suci membersihkan dosa-dosa yang
telah kita lakukan, baik besar maupun kecil, baik yang baru dilakukanmaupun
yang sudah lama dilakukan, baik yng dilakukan dengan sengaja maupun tidak
sengaja, dan yang dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi maupun secara
terang-terangan.
Adapun tata
cara pelaksanaannya sebagai berikut:
a)
Jika dikerjakan
pada siang hari, maka shalat tasbih dilakukan sebanyk empat rakaat dengan satu
malam.
b)
Adapun jika
dikerjakan pada malam hari, maka dilakukan sebanyak empat rakaat dengan dua
salam.
c)
Berdiri lurus
menghadap kiblat kemudian berniat:
أُصَلِّي
سُنَّةَ اْلتَّسْبِيْحِ رَكْعَتَيْن/ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ لِلَّهِ تَعَالَى
d)
Selesai membaca
doa iftitah, Al-Fatihah dan surat dalam Al-Qur’an (sebelum ruku’), kemudian
membaca kalimat tasbih sebanyak 15 kali.
e)
Kemudian ruku’,
dan setelah membaca tasbih ruku’, lalu membaca pula tasbih seperti diatas
sebanyak 10 kali, kemudian i’tidal.
f)
Setelah selesai
membaca doa i’tidal, kemudian membaca pula tasbih 10 kali, lalu sujud.
g)
Di waktu sujud
(sehabis tasbih sujud), kemudian membaca pula tasbih 10 kali, lalu duduk
diantara dua sujud.
h)
Setelah selesai
membac duduk di antara dua sujud, kemudian membaca tasbih 10 kali, lalu sujud
kedua.
i)
Setelah selesai
membaca tasbih sujud, kemudian membaca tasbih 10 kali.
j)
Menjelang
berdiri ke rakaat kedua, hendaknya duduk istirahah sambil membaca tasbih
sebanyak 10 kali.
Jadi, dalam 1
rakaat jumlah bacaan tasbih yang harus dibaca sebanyak 75 kali. Jika shalat
tasbih yang dikerjakan 4 rakaat maka harus membaca tasbih sebanyak 75 x 4 = 300
kali.[12]
8.
Shalat gerhana
(Shalat kusufain)
Shalat kusufain
adalah shalat dua gerhana, yakni gerhana bulan dan gerhana matahari. Ketika
gerhana bulan kita melakukan shalat khusuf, sedangkan ketika terjadi gerhana
matahari kita melakukan shalat kusuf. Kedua shalat itu hukumnya sunnah muakkad
dan hendaknya dilakukan dengan berjamaah.
Waktu
melaksanakan shalat gerhana matahari yaitu dari timbul gerhana sampai matahari
kembali seperti biasa, atau sampai terbenam. Sedang shalat gerhana bulan,
waktunya mulai dari terjadinya gerhana itu sampai terbit kembali, atau sampai
bulan nampak utuh.
Adapun tatacara
pelaksanaannya, yaitu:
a)
Shalat dua
rakaat sebagaimana shalat biasa, boleh dilakukan sendiri-sendiri atau
berjamaah.
b)
Disunnahkan berjamaah
di Masjid dengan anpa adzan. Panggilan shalat cukup dengan ألصلاة جامعة
c)
Shalat dua
rakaat dengan 4 kali ruku dan 4 kali sujud, yakni pada rakaat pertama sesudah
ruku dan i’tidal membaca surat Fatihah lagi kemudian ruku sekali lagi dan
i’tidal lagi, kemudian sujud sebagaimana biasanya.
d)
Pada rakaat
kedua juga dilakukan seperti pada rakaat yang pertama. Jadi, shalat gerhana itu
semuanya ada 4 ruku, 4 Fatihah dan 4 sujud.[13]
e)
Menurut Abu
Hanifah, Malik dan Syafi’i, bacaan Fatihah dan surat dalam shalat gerhana bulan
dikeraskan (jahr), sedang dalam shalat gerhana matahari, Fatihah dan
surat-surat yang lain dibaca pelan. Ini untuk orang-orang yang masih merasa
terbebani tajalli, sehingga tidak mampu untuk membaca keras.
f)
Menurut Abu
Hanifah dan Ahmad, dalam shalat gerhana matahari atau bulan, tidak disunnahkan
khutbah. Ini untuk orang-orang sufi yang merasa gentar menyaksikan gerhana.
Mereka tidak perlu diberi khutbah, mauidlah, atau yang lain. Sedangkan menurut
Imam Syafi’i, disunnahkan untuk melaksanakan khutbah sebagaimana khutbah
Jum’at. Ini untuk yang terhijab, agar peristiwa-peristiwa seperti itu tidak
menimbulkan rasa takut dan gelisah. Mereka diberi khutbah sebagai peringatan
tentang hari akhir, agar rajin untuk berbuat baik dan meninggalkan maksiat. [14]
Adapun niat shalat gerhana bulan, yaitu:
أُصَلِّيْ سُنَّةَ لِخُسُوْفِ الْقَمَرِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ
تَعَالَى
Sedangkan niat
shalat gerhana matahari, yaitu:
أُصَلِّيْ سُنَّةَ لِكُسُوْفِ الشَّمسِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى
9.
Shalat istisqa
Apabila terjadi
kemarau panjang, sungai dan sumber air mulai kekeringan, tanaman juga tidak
dapat tumbuh dengan subur bahkan diantaranya mati, maka sunnah hukumnya untuk
meminta turunnya hujan kepada Allah SWT. Permintaan tersebut dapat dilakukan dengan
tiga cara:
a.
Berdoa kepada
Allah SWT. agar menurunkan hujan.
b.
Berdoa kepada
Allah SWT. agar menurunkan hujan di dalam khutbah Jum’at.
c.
Berdoa kepada
Allah SWT. agar menurunkan hujan dengan cara shalat istisqa.
Shalat istisqa
dilaksanakan dengan dua rakaat secara berjamaah di tanah lapang tanpa didahului
adzan dan iqamah. Waktu pelaksanannya adalah ketika matahari telah naik.
Sebelum melaksanakannya, lebih utama apabila imam mengajak orang-orang untuk
berpusa selma tiga hari berturut-tuirut (sebagian ulama berpendapat puasa empat
hari). Selama tiga hari itu pula hendaknya memperbanyak memohon ampunan dan
bertaubat kepada Allah SWT., bersedekah, dan beramal saleh. Pada hari keempat
(dalam keadaan puasa) ketika matahari sedang naik, semua orang berangkat bersama-sama
ke tanah lapang. Hendaknya menggunakan pakaian yang sederhana dan dengan hati
yang khusyuk guna memohon rahmat-Nya.
Pada rakaat
pertama dianjurkan untuk membaca Surat Al-A’la setelah fatihah dan membaca
surat Al-Ghasiyyah pada rakaat kedua. Dan setelah selesaai mengerjakan sholat
istisqa, imam berdiri untuk menyampaikan khutbah. Imam hendaknya berkhutbah
dengan menggunakan selendang. Pada khutbah yang pertama, hendaknya diawali
dengan membaca istighfar sebanyak sembilan kali dan pada khutbah kedua diawali
dengan membaca istighfar sebanyak tujuh kali. Khutbah yang disampaikan berisi
ajakan untuk memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah SWT. dan membangun
keyakinan bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Pemurah dan akan mengabulkan doa
hamba-Nya. Pada khutbah kedua, Khotib hendaknyanmenghadap kiblat, mengubah
posisi selendang dari kanan kekiri dan yang diatas dipindah ke bawah, serta
mengangkat kedua tangannya lebih tinggi dari biasanya.[15]
Adapun niat
shalat istisqa, yaitu:
أُصَلِّيْ سُنَّةَ اْلإِسْتِسْقَاءِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى
10.
Shalat hari
raya
Di dalam Islam
ada dua hari raya, yakni Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada 1 Syawal dan Hari
Raya Idul Adha yang jatuh pada 10 Dzulhijah. Dalam dua hari raya tersebut,
hukumnya sunnah muakkad untuk melakukan shalat Idul Fitri dan shalat Idul Adha.
Shalat ini dikerjakan dengan dua rakat, tidak didahului dengan adzan dan
iqamah, dan setelah shalat dilanjutkan dengan khutbah hari raya.
Shalat Idul
Fitri dan shalat Idul Adha sama-sama dilaksanakan pada pagi hari. Akan tetapi,
ada sedikit perbedaan waktu antara keduanya. Shalat Idul Fitri dilaksanakan
ketika matahari kira-kira setinggi dua tombak (kira-kira pukul 07.00 waktu
setempat), Sedangkan shalat Idul Adha dilaksanakan ketika matahari setinggi
satu tombak (kira-kira pukul 06.30 waktu setempat). Sementara itu, batas
akhirnya sama-sama sampai dengan tergelincirnya matahari.
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى بِنَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَالشَّمْسُ
عَلَى قَيْدِ رُمْحَيْنِ وَ الْأَضْحَى عَلَى قَيْدِ رُمْحٍ (رواه احمد بن حسن البنى)
"Nabi SAW. shalat Idul Fitri bersama kami ketika matahari setinggi
kira-kira dua tombak dan shalat Idul Adha ketika matahari setinggi kira-kira
satu tombak.” (HR. Ahmad bin Hasan Al-Banna)[16]
Adapun tata
cara shalat ied, yaitu:
a.
Niat
b.
Setelah
takbiratul ikhram dan sebelum membaca surat Al-Fatihah disunnahkan takbir
sebanyak tujuh kali (tidak termasuk takbiratul ikhram). Di antara ketujuh
takbir tersebut, disunnahkan membaca kalimat tasbih, yaitu: سُبْحَانَ اللّهِ وَ الْحَمْدُ للّهِ وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللّهُ وَ
اللّهُ أَكْبَرْ
c.
Pada rakaat
kedua, sebelum membaca surat Al-Fatihah, disunnahkan takbir sebanyak lima kali
(tidak termasuk takbir karena berdiri dari sujud).
d.
Pada ketujuh
takbir di rakaat pertama, disunnahkan mengangkat kedua tangan seperti pada saat
akbiratul ikhram. Hal ini juga berlaku bagi kelima takbir pada rakaat kedua.
e.
Bagi imam dan
makmum disunnahkan mengeraskan bacaan takbir.
f.
Sesudah shalat
disunnahkan khutbah dua kali, sebagaimana khutbah dua jum’at baik rukun ataupun
sunnah-sunnahnya, namun permulaan khutbah yang pertama disunnahkan membaca
takbir sembilan kali secara muwalah dan saat permulaan khutbah yang kedua
disunnahkan membaca takbir tujuh kali (juga secara muwalah).
Hal-hal yang
sunnah dilakukan pada saat hari raya, diantaranya:
a.
Mengisi malam
hari raya dengan memperbanyak zikir, shalat, membaca Al-Qur’an, takbir, tasbih
atau istighfar.
b.
Mandi, sikat
gigi, memakai wangi-wangian dan memakai pakaian yang paling bagus (khusus bagi
laki-laki).
c.
Bersedekah
(selain zakat fitrah), kepada keluarga atau sanak kerabat.
d.
Menampakkan
wajah gembira ketika bertemu dengan orang lain.
e.
Saling
bersilaurrahim dan memperkuat persaudaraan (ukhuwah).
f.
Mengerjakan
shalat sunnah mutlak sebelum khutbah.
g.
Mkan sebelum
pergi shalat hari raya fitri, sedangkan pada hari raya adha disunnahkan tidak
makan sebelum shala dilaksanakan.
h.
Berangkat
pagi-pagi sekali.[17]
11.
Shalat sunnah
mutlaq
Shalat sunnah
mutlaq artinya shalat sunnah yang tidak ditentukan waktunya dan tidak ada sebab
juga jumlah rakaatnya tidak ada batas, berapa saja, dua rakaat atau lebih.
Caranya seperti shalat sunnah yang lain. Meskipun shalat sunnah mutlaq tidak
mempunyai waktu tertentu dan boleh dikerjakan kapanpun, kecuali pada
waktu-waktu berikut:
a.
Sesudah shalat
subuh sampai terbit matahari.
b.
Sesudah shalat
ashar sampai terbenam matahari.
c.
Tatkala istiwa
(tengah hari) selain hari Jum’at.
d.
Tatkala terbit
matahari sampai setinggi tombak (jam 08.00 – 09.00) jam zawaliyah.
e.
Tatkala hampir
terbenam matahari sampai terbenamnya.[18]
12.
Shalat
istikharah
Shalat
istikharah artinya shalat meminta petunjuk yang baik. Shalat ini dianjurkan
bagi seseorang yang bingung untuk memilih yang terbaik diantara berbagai
pilihan, baik yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat duniawi maupun
ukhrawi. Adapun tatacara pelaksanaannya:
a.
Shalat ini
dilakukan dengan dua rakaat yang diawali dengan niat.
أُصَلِّيْ
سُنَّةَ إيستيخاراتي رَكْعَتَيْنِ لِلّهِ تَعَالىَ
b.
Pada rakaat
pertama, membaca surat al-Fatihah yang dilanjutkan dengan membaca surat
al-Kafirun.
c.
Pada rakaat
kedua juga membaca surat al-Fatihah yang dilanjutkan dengan membaca surat
al-Ikhlas.
d.
Tatacara yang
lain sama dengan shalat pada umumnya. Hanya saja setelah salam membaca doa
istikharah.[19]
[1] Muhammad Bagir
Al-Habsyi, Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para
Ulama, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 159
[2]Ma’had
Al-Jami’ah , Modul Baca Tulis Al-Qur’an (BTA) & Pengetahuan dan
Pengamalan Ibadah (PPI), (Purwokerto: Ma’had Al-Jami’ah IAIN Purwokerto,
2015), hlm. 103-104
[3] Akhmad
Muhaimin Azzet, Pedoman Praktis Shalat Wajib dan Sunnah, (Jogjakarta:
Javalitera, 2011), hlm. 145-146.
[4] Ach. Khudori
Soleh, Fiqih Kontekstual: (perspektif sufi-falsafi), (Jakarta: Pertja,
1998), hlm.91.
[5]Ma’had
Al-Jami’ah, Modul Baca Tulis Al-Qur’an (BTA)..., hlm. 104.
[6] Muhammad Bagir
Al-Habsyi, Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para
Ulama..., hlm. 167.
[7]Ma’had
Al-Jami’ah, Modul Baca Tulis Al-Qur’an (BTA)..., hlm. 104-105.
[8] Muhammad Bagir
Al-Habsyi, Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para
Ulama..., hlm. 171-172.
[9] Akhmad
Muhaimin Azzet, Pedoman Praktis Shalat Wajib dan Sunnah, (Jogjakarta:
Javalitera, 2011), hlm. 147.
[10] Akhmad
Muhaimin Azzet, Pedoman Praktis Shalat..., hlm. 151.
[11]Ma’had
Al-Jami’ah, Modul Baca Tulis Al-Qur’an (BTA)..., hlm. 108-109.
[12]Ma’had
Al-Jami’ah, Modul Baca Tulis Al-Qur’an (BTA)..., hlm. 117-118.
[13]Ma’had
Al-Jami’ah, Modul Baca Tulis Al-Qur’an (BTA)..., hlm. 111-112.
[14] Ach. Khudori
Soleh, Fiqih Kontekstual..., hlm. 171.
[15] Akhmad
Muhaimin Azzet, Pedoman Praktis Shalat Wajib dan Sunnah...,174-177.
[16] Akhmad
Muhaimin Azzet, Pedoman Praktis Shalat Wajib dan Sunnah...,165-166.
[17]Ma’had
Al-Jami’ah, Modul Baca Tulis Al-Qur’an (BTA)..., hlm. 110-111.
[18] Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: CV Sinar Baru, 1986), hlm. 150-151.
[19] Ma’had
Al-Jami’ah, Modul Baca Tulis Al-Qur’an (BTA)..., hlm. 106-107.
Komentar
Posting Komentar