Hukum Transplantasi Anggota Badan dalam Islam
TRANSPLANTASI ANGGOTA BADAN DALAM ISLAM
A. Pengertian Transplantasi
Transplantasi ialah pemindahan organ tubuh yang masih mempunyai daya hidup sehat menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik. Pada saat ini, ada upaya untuk memberikan organ tubuh kepada orang yang memerlukan, walaupun orang itu tidak menjalani pengobatan, yaitu untuk orang buta. Hal ini khusus donor mata bagi orang buta.[1]
Transplantasi menurut istilah kedokteran berarti “usaha memindahkan sebagian dari bagian tubuh dari satu tempat ke tempat lain” atau “memindahkan jaringan dari suatu tempat ke tempat lain”. Definisi lain menyebut transplantasi sebagai “suatu pemindahan bahan yang hidup (sel, jaringan, dan organ) dari satu tempat ke tempat yang lain dalam susunan yang berbeda”. Dari berbagai definisi dapat dikemukakan bahwa transplantasi ialah suatu upaya medis untuk memindahkan jaringan, sel atau organ tubuh dari donor kepada resipien. [2]
B. Dalil Al-Quran & Hadist
1. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Sehat
Apabila transplantasi organ tubuh
diambil dari orang yang masih dalam keadaan hidup sehat, maka hukumnya ‘Haram’,
dengan alasan :
a. Firman Allah dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 195 :
وَلاَ
تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إَلىَ التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri dalam kebinasaan”.
Ayat tersebut mengingatkan manusia, agar jangan
gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu, namun tetap menimbang akibatnya
yang kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri donor, walaupun perbuatan itu
mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur. Umpamanya seseorang
menyumbangkan sebuah ginjalnya atau matanya pada orang lain yang memerlukannya
karena hubungan keluarga, teman atau karena berharap adanya imbalan dari orang
yang memerlukan dengan alasan krisis ekonomi. Dalam masalah yang terakhir ini,
yaitu donor organ tubuh yang mengharap imbalan atau menjualnya, haram hukumnya,
disebabkan karena organ tubuh manusia itu adalah milik Allah (milk
ikhtishash), maka tidak boleh memperjualbelikannya. Manusia hanya berhak
mempergunakannya, walaupun organ tubuh itu dari orang lain.
Orang yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu masih
hidup sehat kepada orang lain, ia akan menghadapi resiko ketidakwajaran, karena
mustahil Allah menciptakan mata atau ginjal secara berpasangan kalau tidak ada
hikmah dan manfaatnya bagi seorang manusia. Maka bila ginjal si donor tidak
berfungsi lagi, maka ia sulit untuk ditolong kembali. Maka sama halnya,
menghilangkan penyakit dari resipien dengan cara membuat penyakit baru bagi si
donor. Hal ini tidak diperbolehkan karena dalam qaidah fiqh disebutkan:
الضَّرَرُ
لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Bahaya
(kemudharatan) tidak boleh dihilangkan dengan bahaya (kemudharatan) lainnya”
b. Qaidah Fiqhiyyah
دَرْءُ
اْلمَفاَسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ اْلمَصَالِحِ
“Menghindari kerusakan/resiko,
didahulukan dari/atas menarik kemaslahatan”.
Berkaitan transplantasi, seseorang harus lebih
mengutamakan menjaga dirinya dari kebinasaan, daripada menolong orang lain
dengan cara mengorbankan diri sendiri dan berakibat fatal, akhirnya ia tidak
mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya, terutama tugas kewajibannya dalam
melaksanakan ibadah.
2.
Hukum
Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Koma
Melakukan transplantasi organ tubuh
donor dalam keadaan koma, hukumnya tetap haram, walaupun menurut dokter, bahwa
si donor itu akan segera meninggal, karena hal itu dapat mempercepat
kematiannya dan mendahului kehendak Allah, hal tersebut dapat dikatakan ‘euthanasia’ atau
mempercepat kematian. Tidaklah berperasaan/bermoral melakukan transplantasi
atau mengambil organ tubuh dalam keadaan sekarat. Orang yang sehat seharusnya
berusaha untuk menyembuhkan orang yang sedang koma tersebut, meskipun menurut
dokter, bahwa orang yang sudah koma tersebut sudah tidak ada harapan lagi untuk
sembuh. Sebab ada juga orang yang dapat sembuh kembali walau itu hanya sebagian
kecil, padahal menurut medis, pasien tersebut sudah tidak ada harapan untuk
hidup. Maka dari itu, mengambil organ tubuh donor dalam keadaan koma, tidak
boleh menurut Islam dengan alasan sebagai berikut:
a. Hadits Nabi, riwayat Malik dari ‘Amar
bin Yahya, riwayat al-Hakim, al-Baihaqi dan al-Daruquthni dari Abu Sa’id
al-Khudri dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Ubadah bin al-Shamit :
لاَضَرَرَ
وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membuat madharat pada
diri sendiri dan tidak boleh pula membuat madharat pada orang lain”.
Berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ tubuh
orang dalam keadaan koma/sekarat haram hukumnya, karena dapat membuat madharat
kepada donor tersebut yang berakibat mempercepat kematiannya, yang disebut
euthanasia.
b. Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan
penyakitnya demi mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati berada di
tangan Allah. Oleh karena itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri atau
mempercepat kematian orang lain, meskipun hal itu dilakukan oleh dokter dengan
maksud mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien.
3.
Hukum
Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Meninggal
Mengambil organ tubuh donor
(jantung, mata atau ginjal) yang sudah meninggal secara yuridis dan medis,
hukumnya mubah, yaitu dibolehkan menurut pandangan Islam dengan syarat bahwa :
a. Resipien (penerima sumbangan organ
tubuh) dalam keadaan darurat yang mengancam jiwanya bila tidak dilakukan
transplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat secara optimal baik medis maupun
non medis, tetapi tidak berhasil. Hal ini berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرُوْرَاتُ
تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ
“Darurat akan membolehkan yang
diharamkan”.
Juga berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرَرُ
يُزَالُ
“Bahaya itu harus dihilangkan”.
b. Juga pencangkokan cocok dengan organ
resipien dan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat
baginya dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Disamping itu harus ada wasiat dari
donor kepada ahli warisnya, untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia
meninggal, atau ada izin dari ahli warisnya.
C. KAJIAN
Para ulama dari semua madzhab sepakat bahwa tidak membolehkan transplantasi, karena transplantasi menimbulkan mafsadah bagi orang lain. Donor akan kehilangan salah satu organ tubuhnya. Dengan demikian jika pengambilan organ tersebut tidak mengandung mafsadah, berarti boleh-boleh saja. Maka dari itu, transplantasi dari organ tubuh orang lain tak dilarang. Selama tidak menimbulkan mafsadah. Misalnya saja tranplantasi ginjal, karena manusia memiliki dua ginjal, maka jika seseorang diambil satu ginjalnya, tetap bisa hidup dengan ginjal yang satunya lagi. Ia tetap bisa hidup normal. Tetapi jika menimbulkan mafsadah bagi pendonornya, transplantasi tidak dapat dilakukan. Seperti transplantasi jantung. Sebab, manusia hanya memiliki sati jantung. Jika jantung itu ditransplantasikan maka ia akan mati. [3]
D. SIMPULAN
Transplantasi merupakan pemindahan jaringan atau organ dari suatu tempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi dengan baik.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa transplantasi anggota badan hukumnya mubah dan dapat berubah sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Ketika transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor hidup, maka hukumnya haram. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor sakit (koma), hukumnya haram. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor telah meninggal, ada yang berpendapat boleh dan ada yang berpendapat haram.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Yasid. 2005. Fiqh Realitas: Respon Ma’had
Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
M.
Ali Hasan. 2000. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah:
Pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
T.
Yanggo, Chuzaimah dan Hafiz Anshary. 1995. Problematika
Hukum Isalam Kontemporer. Jakarta: PT Pustaka Firdaus
[1] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah
Al-Haditsah: Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 121
[2] H. Chuzaimah T dan Hafiz Anshary, Problematika
Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 70
[3] Abu Yasid, Fiqh Realitas: Respon
Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), hlm 222.
Komentar
Posting Komentar