Aliran Qadariah



BAB I
PENDAHULUAN


Perbedaan teologis di kalangan umat islam yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya (Yanti, S., 2013)

BAB II
PEMBAHASAN

1.1. Pengertian Qodariyah

Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata قَدَرَ yang artinya kemampuan dan kekuatan. Secara terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat dipahami bahwa qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Harun Nasution menegaskan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu :

اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Artinya : “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat.” (QS. Fush-Shilat : 40).

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ

Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya : “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS.Ali Imran :165).

إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan [Tuhan tidak akan merubah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka] yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS.Ar-Ra’d :11) (Yanti, S., 2013).

Mengenai nama, seharusnya sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun sebutan tersebut telah melekat pada kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. Menurut Ahmad Amin dalam Rosihon Anwar, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah yang berbunyi:
 الاْءُمَّةِ هَذِهِ مَجُوْسُ آلْقَدَرِيّةُ artinya: “Kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini (Wandi, G., 2012).
 Kiranya timbul keraguan bagi ahli sejarah, mengapa aliran ini disebut dengan aliran al-Qadariyah, padahal mereka meniadakan (menafikan) qadar Tuhan? Sebagian ahli sejarah mengatakan, penyebutan demikian tidaklah mengapa, sebab banyak juga terjadi menyebutkan sesuatu justru dengan sebutan kebalikannya. Sebagian ahli yang lain mengatakan, bahwa karena mereka meniadakan qadar Tuhan dan menetapkannya pada manusia serta menjadikan segala perbuatan manusia tergantung pada kehendak dan kekuasaan manusia sendiri, maka mereka disebut dengan kaum atau aliran al-Qadariyah. Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan Free Will atau Free Act (Sofianti, W.M., 2012).

 

1.2 Sejarah timbulnya Qodariyah

Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetapi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H atau 689M (Yanti, S., 2013) dengan berbagai versi yang memperdebatkan mengenai tokoh pemulanya.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham Qadariyah adalah orang irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan (Khofifi, M., 2010).
Dari penjelasan di atas, kiranya dapat dikatakan, bawah lahirnya paham Qadariyah dalam Islam dipengaruhi oleh paham bebas yang berkembang dikalangan pemeluk agama Masehi (Nestoria). Dalam hal ini Max Hortan berpendapat, bahwa teologi Masehi di dunia Timur pertama-tama menetapkan kebebasan manusia dan pertanggungan jawabnya yang penuh dalam segala tindakannya. Karena dalil-dalil mengenai pendapat ini memuaskan golongan bebas Islam (Qadariyah), maka mereka merasa perlu mengambilnya (Sofianti, W.M., 2012).
Sementara itu, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Kholifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700 M. Hasan Al-Basri (642-728) adalah anak seorang tahanan di irak. Ia lahir dimadinah, tetapi pada tahun 657, pergi ke Basrah dan tinggal disana sampai akhir hayatnya. Apakah Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau bukan, hal ini memang menjadi perdebatan. Namun, yang jelas, -berdasarkan catatannya yang terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk. Hasan yakin bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.
Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad- Dimasyqi, menurut Watt, adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Basri. Kalau dihubungkan dengan keterangan Adz-Dhahabi dalam Mizan Al-I’tidal seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar pada Hasan Al-Basri, maka sangat mungkin faham Qadariyah ini mula-mula dikembangkan hasan Al-Bashri.
Dengan demikian, keterangan yang ditulis oleh Ibn Nabatah dalam Syahrul Al-Uyun bahwa faham Qadariyah berasal dari orang irak Kristen yang masuk Islam dan kemudian kembali kepada Kristen, adalah hasil rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang tidak tertarik dengan pikiran Qadariyah. Lagi pula menurut Kremer, seperti dikutip Ignaz Goldziher, dikalangan gereja timur ketika itu terjadi perdebatan tentang butir doktrin Qadariyah yang mencekam pikiran para teolognya.
Persoalan pertama kalinya Qadariyah muncul. Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Basri. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibn Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang Kristen dari irak yang telah masuk Islam pendapatnya itu diambil oleh Ma’bad dan Ghailan. Sebagaimana lain berpendapat bahwa faham ini muncul di Damaskus (Khofifi, M., 2010).
Mengenai motif timbulnya paham Qadariyah ini, menurut hemat penulis disebabkan oleh 2 faktor. Pertama, faktor extern yaitu agama Nasrani, dimana jauh sebelumnya mereka telah memperbincangkan tentang qadar Tuhan dalam kalangan mereka. Kedua, faktor intern, yaitu reaksi terhadap paham Jabariyah dan merupakan upaya protes terhadap tindakan-tindakan penguasa Bani Umayah yang bertindak atas nama Tuhan dan berdalih kepada takdir Tuhan.
Paham Qadariyah yang disebarluaskan oleh dua sekawan ini banyak mendapat tantangan. Selain penganut paham Jabariyah, penguasa yang berwenang ketika itu, juga oleh generasi terakhir dari para sahabat, seperti Abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdullah, Abu Hurairah, ibn Abbas, Anas ibn Malik dkk. Bahkan mereka menghimbau kepada generasi penerusnya, agar tidak mengikuti paham Qadariyah, tidak usah menyembahyangkan jenazah-jenazahnya dan tidak perlu membesuknya jika mereka sakit. Hal demikian dapat dimaklumi, sebab menurut pendapat mereka, berdasarkan hadis atau atsar yang diterimanya, bahwa kaum Qadariyah merupakan majusi umat Islam, dalam arti golongan yang tersesat.
Secara organisasi/aliran mereka tidak berwujud lagi, tetapi existensi ajarannya masih tetap berkembang, yaitu dianut oleh kaum Mu'tazilah (Sofianti, W.M., 2012).

1.3 Tokoh-tokoh Qodariyah dan Ajarannya

1. Ghailan Ibnu Muslim al-Dimasyqi

Ghailan dikenal juga dengan Abu Marwan. Dia adalah penyebar paham Qadariyah di Damaskus. Dia seorang orator, maka tidak heranlah jika banyak orang yang tertarik untuk mengikuti pahamnya (Sofianti, W.M., 2012).
Menurut Khairuddin al-Zarkali dalam Sirajuddin Zar menjelaskan bahwa Ghailan adalah seorang penulis yang pada masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu Sa’id yang dikenal sebagai pendusta. Ia pernah taubat terhadap pengertian faham qadariyahnya dihadapan Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar wafat ia kembali lagi dengan mazhabnya. Ia akhirnya mati dihukum bunuh oleh Hisyam ‘Abd al-Malik (724-743). Sebelum dijatuhi hukuman bunuh diadakan perdebatan antara Ghailan dan al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri (Wandi, G., 2012).
Ghailan berpendapat, bahwa manusia sendirilah yang berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia melakukan perbuatan-perbuatan balk atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pulalah yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri (Sofianti, W.M., 2012). 

2. Ma’bad Al-Jauhani

Menurut al-Zahabi dalam kitab Mizan al-l'tidal yang dikutip oleh Ahmad Amin, bahwa Ma'bad al-Juhani adalah seorang tabi'in yang dapat dipercaya (baik), tetapi dia telah memberi contoh dengan hal yang tidak terpuji, yaitu mengatakan tentang tidak adanya qadar bagi Tuhan. Dialah penyebar paham Qadariyah di Irak. Suatu kali dia memasuki lapangan politik untuk menentang kekuasaan Bani Umayah dengan cara memihak kepada Abdurrahman ibn Asy'as, Gubernur Sajistan. Hal ini mengakibatkan peris-tiwa yang tragis baginya, sebab ketika dia bertempur dengan al-Hajjaj dia terbunuh. Hal ini terjadi pada tahun sekitar 80 H. Sebagian orang mengatakan kematiannya disebabkan oleh masalah politik, tetapi banyak juga orang yang mengatakan bahwa kematiannya disebabkan oleh kezindikan-nya (paham Qadariyahnya) (Sofianti, W.M., 2012).
Selain dari 2 tokoh besar itu, adapun pandangan lain Qadariyah, di antaranya:
AI-Nazam, salah seorang pemuka Qadariyah mengatakan, bahwa manusia hidup itu mempunyai istitha'ah. Selagi manusia hidup, dia mempunyai istitha'ah (daya), maka dia berkuasa atas segala perbuatannya. Manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, Sebab itu, dia berhak mendapat-kan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan sebaliknya dia juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Di sini nyatalah bahwa nasib manusia tidak ditentukan oleh Tuhan terlebih dahulu dan ditetapkan sejak zaman azali seperti pendapat yang dipegangi oleh paham Jabariyah.
Pembahasan ajaran ini, kiranya lebih luas dikupas oleh kalangan Mu'tazilah, sebab sebagaimana diketahui paham Qadariyah ini juga dijadikan salah satu ajaran Mu'tazilah. Sehingga ada yang menyebut al-Mu'-tazilah itu dengan sebutan al-Qadariyah.
AI-Jubba'i mengatakan, bahwa manusialah yang menetapkan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia, sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama juga diberikan oleh Abd al-Jab-bar.
Untuk memperkuat pendapatnya, Abd al-Jabbar mengemukakan beberapa argumen, baik bersifat rasional maupun nas, Salah satu argumen yang dikemukakan adalah, bahwa perbuatan manusia akan terjadi sesuai dengan kehendaknya. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu, perbuatan tersebut terjadi, sebaliknya jika dia tidak ingin berbuat sesuatu, maka tidak -lah terjadi perbuatan itu. Jika sekiranya perbuatan tersebut perbuatan Tuhan, maka perbuatan tersebut tidak akan terjadi, sungguhpun dia meng-inginkannya, dan sebaliknya perbuatan tersebut tetap akan terjadi.sungguh-pun dia sangat tidak menginginkannya.
Di antara ayat yang digunakan untuk memperkuat pendapatnya adalah ayat 17 surat al-Sajadah
Abd. al-Jabbar menyatakan, sekiranya perbuatan manusia perbuatan Tuhan, maka ayat ini tidak ada artinya, sebab ini berarti bahwa Tuhan memberi pahala atas dasar perbuatan seseorang yang pada hakikatnya perbuatan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, agar ayat ini tidak membawa kepada kebohongan, maka perbuatan tersebut harus dipastikan sebagai perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya, bukan dalam arti majazi.
            Selain ayat tersebut, masih banyak ayat yang digunakan oleh kaum Qadariyah (Mu'tazilah) untuk memperkuat argumennya. Sebagian ayat-ayat al-Qur'an tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Q.S.AL-Mudassir:38
Artinya: Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang telah diperbuatnya.
2.      Q.S AL-Muzammil:19
Artinya: Sesungguhnya ini adalah peringatan, maka siapa yang ingin, tentu ia mengambil jalan kepada Tuhannya.
3.      Q.S an-Nisa:11
Artinya: Dan barangsiapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.
Ajaran al-Qadariyah dan berbagai argumen yang telah dipaparkan yang baru lalu memberi kesan, bahwa manusia dalam mewujudkan segala perbuatannya bebas sebebas-bebasnya tapi pada kenyataannya kebebasan dan kekuasaan manusia itu dibatasi oleh hal-hal yang tak dapat dikuasai oleh manusia sendiri.
Kebebasan dan kekuasaan manusia, sebenarnya dibatasi oleh hukum alam. Pertama-tama manusia tersusun dari materi. Materi adalah terbatas, dan mau tak mau manusia sesuai dengan unsur materinya, bersifat terbatas. Manusia hidup dengan diliputi oleh hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan.
Kebebasan manusia sebenarnya, hanyalah memilih hukum alam mana yang akan ditempuh dan diturutinya.

1.4 Qadariyah dan Doktrin – doktrinnya

Adapun doktrin Qadariyah yang bertentangan dengan ahlussunnah waljamaah adalah sebagai berikut:
    1. Manusia mempunyai daya dan kekuatan untuk menentukan nasibnya, melakukan segala sesuatu yang diinginkan baik dan buruknya.
    2. takdir merupakan ketentuan Allah SWT terhadap alam semesta sejak zaman azali, yaitu hukum yang dalam Al-Qur’an disebut sunnatullah.
    3. Secara alamiah manusia mempunyai takdir yang tak dapat diubah mengikuti hukum alam seperti tidak memiliki sayap untuk terbang, tetapi manusia memiliki daya untuk mengembangkan pemikiran dan daya kreatifitasnya sehingga manusia dapat menghasilkan karya untuk mengimbangi atau mengikuti hukum alam tersebut dengan menciptakan pesawat terbang (Khofifi, M., 2010).

1.5 Perbandingan Aliran Qadariyah dan Jabariyah

Beberapa perbedaan mendasar terhadap berbagai permasalahan teologi yang berkembang diantara kedua aliran ini diantaranya adalah:

  1. Jabariyah meyakini bahwa segala perbuatan manusia telah diatur dan dipaksa oleh Allah, sementara qadariyah meyakini bahwa Allah tidak ikut campur dalam kehidupan manusia.
  2. Jabariyah menyatakan bahwa surga dan neraka tidak kekal. Qadariyah menyatakan bahwa manusia yang berbuat baik akan mendapat surga, sementara yang berbuat jahat akan mendapat ganjaran di neraka.
  3. Takdir dalam pandangan kaum jabariyah memiliki makna bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dan digariskan Allah SWT. Sementara takdir menurut kaum qadariyah merupakan ketentuan Allah terhadap alam semesta sejak zaman azali, manusia menyesuaikan terhadap alam semesta melalui upaya dan pemikirannya yang tercermin dalam kreatifitasnya (Khofifi, M., 2010).

BAB III
PENUTUP

Al-Qadariyah adalah salah satu paham yang menyatakan bahwa manusia dalam menentukan perbuatannya, memiliki kebebasan kekuasaan. Perbuatannya tersebut diwujudkan atas kehendak dan dayanya sendiri. Oleh karena itu pantaslah kiranya, jika orang mendapat pahala atau siksa. Namun demikian, manusia tidak bebas sebebas-bebasnya dalam menentukan perbuatan-per-buatannya, Sebab justru mereka dibatasi oleh adanya hukum alam (sunatullah), dan tak dapat disangkal lagi bahwa hukum alam itu adalah kehendak dan kekuasaan Tuhan (Sofianti, W.M., 2012).



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Soal Menghitung Zakat Fitrah

Contoh Teks MC Pelantikan Pengurus

Materi PAI Kelas 6 Bab 4 Ayo Membayar Zakat ppt