Peserta Didik dalam Pendidikan Islam



PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM

DI SEKOLAH

A.      Definisi Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam

Sama halnya dengan teori Barat, peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan religus dalam mengarungi kehidupan di dunia dan akhirat kelak. Definisi tersebut memberi arti bahwa peserta didik merupakan individu yang belum dewasa, yang karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah, anak-anak penduduk adalah peserta didik masyarakat sekitarnya, dan umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.[1]
Dalam Undang-Undang Sisdiknas, Pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. dalam pendidikan Islam, yang menjadi pesera didik bukan hanya anak-anak, melainkan juga orang dewasa yang masih berkembang, baik fisik maupun psikis. Hal itu sesuai dengan prinsip bahwa pendidikan Islam berakhir setelah seseorang meninggal dunia.
Dalam bahasa Arab terdapat term peserta didik yang bervariasi. Diantaranya thalib, muta’allim, dan murid. Thalib berarti orang yang menuntut ilmu, muta’allim berarti orang yang belajar, dan murid berarti orang yang berkehendak atau ingin tahu.[2]
Menurut buku Filsafat Pendidikan Islam karya Prof. Dr. Ahmad Tafsir[3], istilah yang tepat bagi semua orang yang sedang belajar pada guru adalah murid karena istilah murid mengandung banyak kelebihan dibanding istilah peserta didik dan anak didik.
Murid merupakan bentuk isim fa’il dari kata arada-yuridu-iradatan-muridan, yang berarti orang yang menginginkan. Istilah murid ini juga mengandung arti kesungguhan dalam belajar, memuliakan guru. Dalam konsep murid ini pula terkandung keyakinan bahwa mengajar dan belajar itu wajib.
Dalam Islam, sebutan murid diperkenalkan oleh para sufi. Dalam konsep tasawuf, murid mengandung pengertian orang yang sedang belajar, menyucikan diri, dan sedang berjalan menuju Tuhan (Allah). Hal yang paling menonjol dalam istilah itu adalah kepatuhan murid kepada guru (mursyid)nya.[4]

B.       Kebutuhan Peserta Didik

Al-Qussi membagi kebutuhan manusia (peserta didik) dalam dua kebutuhan pokok, yaitu:
1.    Kebutuhaan primer, yaitu kebutuhan jasmani seperti makan, minum, seks, dan sebagainya.
2.    Kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan ruhaniah.
Selanjutnya ia membagi kebutuhan ruhaniah kepada enam macam.
1.    Kebutuhan akan rasa kasih sayang.
2.    Kebutuhan akan rasa aman.
3.    Kebutuhan akan rasa harga diri.
4.    Kebutuhan akan rasa bebas.
5.    Kebutuhan akan rasa sukses.
6. Kebutuhan akan suatu kekuatan pembimbing atau pengendalian diri manusia, seperti pengetahuan lain yang ada pada setiap manusia yang berakal.[5]

C.      Sifat-Sifat Umum Anak Didik

1.    Anak bukan miniatur orang dewasa.
2. Anak didik mengikuti fase-fase perkembngan ter tentu, perkembangan dari lahir sampai kedewasaan mengikuti periode-periode perkembangan tertentu.
3.    Anak didik mempunyai pola perkembangan sendiri.
4.  Tugas perkembangan, yaitu tugas yang harus diselesaikan oleh individu dalm tiap-tiap fase perkembangan.
5.    Kebutuhan anak didik.
6.    Perbedaan individual.
7.    Anak sebagai keseluruhan.
8.    Anak didik makhluk aktif dan kreatif.[6]

D.      Perkembangan Peserta Didik Pada Usia Sekolah

1.    Peserta didik pada tingakat Taman Kanak-Kanak

Anak-anak di Taman Kanak-Kanak belum mampu berpikir abstrak karena perkembangan pemikiran logis baru mulai pada umur 7 tahun. Mereka berpikir terkait dengan apa yang dijangkaunya dengan panca imderanya, karena itu agar mereka berpikir dikatakan inderawi. Di antara panca indra yang paling besar pengaruhnya dan lebih lama tinggal di otak adalah penglihatan, kemudian pendengaran, sedangkn sisanya sentuhan, penciuman, dan pencicipan.

2.    Peserta didik di sekolah dasar

Anak-ank sekolah dasar yang sedang mengalami perkembangan cepat pada kecerdasannya pada umur 12 tahun (kelas VI), telah mampu memahami hal yang abstrak. Anak didik pada umur 10-12 tahun atau kelas IV-VI SD, kemampuan kecerdasannya telah dapat menerima prinsip-prinsip keyakinan agama yang tidak dapat dikenalnya secara nyata. sedangkan dari segi psiko-sosial, mereka telah dapat menghubungkan dirinya dengan masyarakat dan agama.

3.    Peserta didik pada tingkat SLTP

Peserta didik pada tingkat SLTP yang berada pada umur kira-kira 13-15 tahun yang biasanya disebut dengan umur remaja awal, kecerdasannya mengalami perkembangan yang hampir selesai, sehingga pada umur 16-18 tahun para remaja telah mampu mengambil kesimpulan abstrak dari suatu yang dilihat atau didengarnya. Ini berarti peserta didik pada tahap umur ini tidak mau lagi menerima sesuatu yang tidak masuk akal. Agamapun ingin dipahaminya dengan akal.

4.    Peserta didik pada tingkat SLTA

Remaja pada tingka SLTA sedang berada dalam puncak kegoncangan, biasanya mereka pada umur 16-18 tahun. di pandang dari segi jasmani, mereka telah dewasa dan seluruh anggoa tubuhnya telah berfungsi dengan baik. kemampuan pikir juga sudah matang, yang menyebabkan mereka selalu mengharapkan penyelesaian rasional tentang suatu pelajaran termasuk pendidikan agama.

5.    Peserta didik pada Perguruan Tinggi

Pada masa 2-3 ahun pertama di Perguruan Tinggi, remaja berada pada umur 18-21 tahun, atau masa remaja akhir. Perkembangan kejiwaan yang masih berlangsung adalah pembinaan kepribadian dan sosial disamping ideologi dan agama.
Pada umumnya remaja yang sudah duduk di Perguruan Tinggi dapat dikaakan mulai tenang, gelombang kejiwaannya tidak tinggi lagi. agama bagi mereka diperlukan untuk menjadi pedoman hidup dalam menghadapi berbagai masalah. Mereka ingin agar agama dapat menjawab segala masalah dan ingin mengetahui hikmah dan manfaat dari ibadah yang mereka lakukan.[7]

E.       Mengembangkan Potensi Peserta Didik

Islam menampilkan teori potensi positif (fithrah) sebgai dasar perkembangan manusia. Dasar konseptualisasinya mengacu pada firman Allah maupun sabda Nabi Muhammad Saw.
        Allah dalam salah satu firman-Nya menyatakan:
“Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetapkankanlah pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum: 30).
Sementara dalam salah satu  hadis nabi disebutkan: “Setiap anak dilahirkan dalam fithrahnya (potensi untuk beriman-tauhid kepada Allah dan kepada yang baik). Kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.
Makna yang terkandung dalam ayat dan hadis di atas ialah bahwa setiap mnusia pada dasarnya baik, memiliki fitrah dan jiwanya sejak lahir tidk kosong seperti kertas putih, tetapi berisi kesucian dan sifat-sifat dasar yang baik.[8]
Peserta didik merupakan suatu sosok yang memiliki banyak potensi yang perlu “disadarkan” dan “dibangunkan” dari lelap tidurnya, diantaranya:
1. Hidayah wujdaniyah, yaitu potensi yang berwujud insting dan naluri yang melekat, dan langsung berfungsi pada saat manusia dilhirkan ke muka bumi.
2.  Hidayah hissyah, yaitu potensi Allah yang diberikan kepada manusia dalam bentuk kemmpuan indrawi sebagai penyempurna potensi atau hidayah yang pertama.
3.  Hidayah ‘aqliyah, yaitu potensi akal sebagai penyempurna dari kedua hidayah wujdaniyah dan hidayah hissyah.
4. Hidayah diniyyah, yaitu potensi petunjuk agama yang diberikan kepada manusia yang berupa keterangan tentang hal-hal yang menyangkut keerangan dan aturan perbuatan yang tertulis dlam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
5.    Hidayah taufiqiyah, yaitu potensi sifat khusus.[9]
Potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik tersebut, secara umum dapat dibagi dalam tujuh dimensi: ada dimensi fisik (jasmani), dimensi akal, dimensi keberagaman, dimensi akhlak, dimensi seni (keindahan), dan dimensi sosial.[10]
Berdasarkan konseptualisasi itu, pendidikan Islam diharapkan bisa berfungsi sebagai wahana mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan fitrahnya. Pendidikan merupakan proses pengembangan fitrah peserta didik tersebut agar menjadi aktual sehingga mampu membentuk kepribadian muslim yang bermoral (akhlakul karimah).[11]

F.       Sifat-Sifat Dan Kode Etik Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam

Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Al-Ghazali[12] merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu:
a. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT., sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang terpuji (tahalli) perhatikan (QS. al-An’am: 162, al-Dzariyat: 56).
b.   Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (QS. adh-Dhuha: 4). Artinya, belajar tak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tapi juga belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik dihadapan manusia dan Allah SWT..
c. Bersikap tawadlu’ (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidiknya. Sekalipun ia cerdas, tetapi ia bijak dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidiknya, termasuk juga bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.
d.  Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran, sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
e.   Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah), baik untuk ukhrawi maupun untuk duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah). Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri kepada Allah, sementara ilmu tercela akan menjauhkan dari-Nya dan mendatangkan permusuhan antarsesamanya.
f. Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardlu ‘ain menuju ilmu yang fardlu kifayah (QS. al-Insyiqaq: 19).
g. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. Dalm konteks ini, spesialisasi jurusan diperlukan agar peserta didik memiliki keahlian dan kompetensi khusus (QS. al-Insyirah: 7).
h. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.
i.  Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah SWT., sebelum memasuki ilmu duniawi.
j.   Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat dapat membahagiakan, menyejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat.
k.  Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya, mengikuti segala prosedur dan metode madzhab yang diajarkan oleh pendidik-pendidik pada umumnya, serta diperkenankan bagi peserta didik untuk mengikuti kesenian yang baik.

G.      Tugas-Tugas Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam

Al-Ghazali[13] mengemukakan tugas-tugas peserta didik sebagai berikut:
1.    Menyucikan diri dari sifat dan akhlak tercela sebab menuntut ilmu merupakan ibadah batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2.       Mengurangi berbagai kesibukan duniawi atau berkonsentrasi pada belajar.
3.       Tidak sombong kepada guru dan ilmu.
4.       Murid pemula hendaknya menghindarkan pandangan-pandangan khilafiah (kontroversional).
5.       Tidak meninggalkan satupun dianara ilmu-ilmu terpuji.
6.       Tidak mendalami suatu ilmu secara mendalam sekaligus.
7.       Hendaknya tidak mendalami suau ilmu sebelum ilmu yang menjadi prasyaratnya dikuasai.
8.        Mengetahui norma untuk menyusun hirarki ilmu.
9.     Belajar hendaknya bertujuan: didunia untuk menghiasi batin dengan keutamaan dan diakhirat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
10.   Mengetahui kedudukan ilmu terhadap tujuan agar tidak mendahulukan ilmu yang tidak penting atas ilmu yang penting.


[1] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 103
[2] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 103
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 166
[4] Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 207-208
[5] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam... hlm. 104
[6] Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakara: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 192-197
[7] Zakiyah Darajat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), hlm. 99-103
[8] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 61-62
[9] Heri Gunawan, Pendidikan Islam... hlm. 210
[10] Heri Gunawan, Pendidikan Islam... hlm, 212
[11] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam:... hlm. 62
[12] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam... hlm. 113-114
[13] Hery Noer Ali, Ilmu pendidikan Islam, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 129-131

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Soal Menghitung Zakat Fitrah

Contoh Teks MC Pelantikan Pengurus

Materi PAI Kelas 6 Bab 4 Ayo Membayar Zakat ppt