Kebudayaan Islam Masa Nabi Muhammad SAW di Madinah


KEBUDAYAAN ISLAM PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW.

FASE MADINAH




 

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Materi Sejarah Kebudayaan Islam 1
Dosen Pengampu: Kholid Mawardi S.Ag., M.Hum.

Disusun Oleh:
1. Sainab Che’do                                (1522402046)
2. Abdurrahman Wahid                      (1522402047)
3. Indah Niswatul Khabibah               (1522402062)
4. Siti Nurjannah                                 (1522402077)

4 PAI B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2017


BAB 1
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang

Setelah Nabi Muhammad SAW. diangkat menjadi Rasul, beliau mendakwahkan ajaran Islam kepada umatnya. Namun, dalam perjalanan dakwahnya di Makkah, Nabi Muhammad SAW menghadapi berbagai hambatan dan rintangan. Kaum kafir Quraisy selalu berusaha menghalangi dakwah Nabi dengan cara dincam, disiksa, dan dibunuh. Mereka juga menghalangi dakwah Nabi melalui ancaman terhadap pamannya, Abu Thalib yang selalu melindunginya. Ketika Abu Thalib dan istrinya, Siti Khadijah meninggal, kaum Quraisy tidak henti menekan Nabi Muhammad sehingga Nabi berusaha menyebarkan Islam ke luar kota.
Untuk menghibur Nabi Muhammad SAW yang sedang berduka karena ditinggal oleh dua orang yang dicintainya, Allah Mengisra Mi’rajkan beliau untuk diperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Setelah peristiwa Isra Mi’raj tersebut terjadi, suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam muncul. Perkembangan tersebut datang dari sejumlah penduduk yatsrib yang datang ke Makkah untuk melaksanakan ibadah Haji. Mereka meminta kepada Nabi untuk pindah ke Yatsrib dan berjanji akan membela Nabi dari segala ancaman. Nabi pun menyetujui usul yang mereka ajukan. Kemudian Nabi memutuskan untuk Hijrah bersama umatnya atas perintah dari Allah.
Dengan hijrahnya Nabi ke Yatsrib, beliau mengubah nama kota itu menjadi Madinah Al-Munawwarah (kota yang bercahaya). Kemudian Nabi segera meletakkan dasar-dasar masyarakat Islam. Dari sinilah terbentuk kebudayaan Islam yang melekat pada masyarakat Madinah.

B.       Rumusan Masalah

1.    Bagaimana kondisi geografis Madinah?
2.    Bagaimana kebudayaan Islam pada masa Nabi Muhammad SAW. fase Madinah?

C.      Tujuan

1. Untuk mengetahui kondisi geografis Madinah.
2. Untuk mengetahui bagaimana kebudayaan Islam pada masa Nabi Muhammad SAW. fase Madinah.

BAB II
PEMBAHASAN


A.  Kondisi Geografis Madinah

Kota Madinah yang dahulunya bernama Yastrib merupakan kota terpenting sesudah Mekkah di Hijaz. Setelah hijrah, kota ini berganti menjadi Madinah al-Munawwarah. Dahulunya, kota ini didiami oleh keluarga Amaliqah disusul oleh al-Hazraj dan al-Aus dari Yaman. Keduanya kemudian yang memegang kekuasaan di Yastrib. Pada permulaan Islam Yastrib menjadi pusat kekuasannya.[1]
Kota Madinah adalah sebuah negeri yang tanahnya subur dan banyak airnya. Wilayah ini dikelilingi oleh tanah tak berpasir dari empat penjuru arah. Yang paling menonjol ialah tanah tak berpasir Waqim di sebelah timur, dan tanah tak berpasir Wibrah di sebelah barat. Tetapi tanah tak berpasir Waqim lebih subur dan makmur dibandingkan tanah tak berpasir Wibrah. Di sebelah utara terletak Gunung Uhud, dan di sebelah barat daya terletak Gunung Ir. Di Madinah juga terdapat beberapa lembah, dan yang paling terkenal adalah Lembah Bathan, Lembah Mudzainib, Lembah Mahzur, dan Lembah Aqiq. Posisi Madinah membentang dari arah selatan ke arah utara dan bertemu dengan beberapa aliran sungai yang mengalir dari Raumah.[2]

B.  Kebudayaan Islam pada Masa Nabi Muhammad SAW Fase Madinah

Dalam buku The World University Encyclopedia dijelaskan bahwa culture (kebudayaan) adalah the way of life of a society. It is totality of the spiritual,intellectual, and artistic attitudes shared by a group, including its tradition, habits, social costums, morals, laws, and social relations. (Kebudayaan adalah pandangan hidup sebuah masyarakat; ia adalah totalitas spiritual, intelektual, dan sikap artistik yang dibentuk oleh masyarakat, termasuk tradisi, kebiasaan, adat, moral, hukum, dan hubungan sosial).
Menurut E.B. Taylor, budaya adalah keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai bagian dari masyarakat.
Jadi secara umum, kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Untuk menguasai alam, masyarakat memerlukan teknologi dan kebudayaan kebendaan yang dihasilkan dari karya masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Di dalamnya termasuk juga agama, ideologi, kebatinan, dan kesenian yang dihasilkan masyarakat. Dan cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup bermasyarakat, antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Cipta bisa berbentuk teori murni dan bisa juga telah disusun sehingga dapat langsung diamalkan oleh masyarakat.[3]
Dalam menjalankan misi kenabian di Mekkah, tekanan kafir Quraisy terhadap umat Islam terus-menerus dilancarkan. Pertumbuhan umat Islam dari hari ke hari, tidak meredakan permusuhan bahkan cenderung terus meningkat permusuhan yang dilancarkan kaum kafir Quraisy. Rasulullah bersama dengan sahabat dan umat Islam akhirnya hijrah ke Madinah. Di Madinah, masyarakat cukup antusias dengan kedatangan Nabi dan beliau memiliki peluangyang cukup tinggi untuk diterima, bahkan ada yang meminta Nabi untuk menjadi hakim atas perpecahan yang terjadi di Madinah.
Pada suatu malam para pemuda Quraisy pilihan mengepung rumah Rasulullah saw. Agar mereka dapat membunuhnya bila beliau keluar. Pada malam itulah Rasulullah diperintahkan untuk hijrah, maka diaturlah, yakni Ali ibn Abi Talib diperintahkan tidur di tempat tidurnya dengan memakai mantel Nabi yang hijau dari Hadramaut. Keadaan itu diketahui pemuda Quraisy yang mengira bahwa Ali yang masih membujur di tempat tidur Nabi adalah Muhammad sehingga mereka merasa tenang. Tetapi ketika larut malam Nabi saw. Keluar tanpa diketahui oleh para pemuda yang siap menerkam mangsanya itu dan beliau menuju ke rumah Abu Bakar. Dari situ Nabi menuju Gua Sur di selatan Makkah, yang berada di sana tiga hari tanpa banyak diketahui orang kecuali Abdullah ibn Abi Bakar, Aisyah dan Asma’ serta pembantu mereka ‘Amir ibn Fuhairah. Sedangkan Ali diperintahkan untuk tinggal beberapa saat di Makkah untuk menyelesaikan amanat yang dititipkan kepada Muhammad saw. Ketika kaum Quraisy mencari Nabi dan sampai kemulut Gua Sur, Abu Bakar sempat panik dan khawatir kalau-kalau mereka melihat keduanya. Tetapi kafir Quraisy mengurungkan masuk ke dalam Gua karena adanya sarang labah-labah yang ada di mulut Gua itu dan dua ekor burung dara yang bertelur di jalan masuk.[4]
Sebelum Nabi Muhammad meletakkan sendi-sendi kebudayaan Islam di Madinah, tata nilai kebudayaan Islam sudah dirintis dengan sekelompok orang-orang Madinah tentang pentingnya kehidupan yang membedah tata kehidupan manusia yang semula terhadang dengan sekat kesukuan menjadi ruang lebih luas sebagai negara bangsa. Budaya baru sebagai cikal bakal pembentukan negara dan bangsa dirintis Nabi dengan mengadakan hijrah ke Habasyah, perjanjian aqabah 1 dan aqabah 2. Pertemuan yang diikuti ikrar kesetiaan dan persaudaraan dengan orang-orang Madinah ini merupakan langkah positif dan strategis untuk memuluskan jalan hijrah ke Madinah.[5]
Di Madinah, Nabi Muhammad SAW menerapkan syari’ah Islam dan pembangunan ekonomi sebagai dasar kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan pindah ke Madinah, Nabi berhasil meletakkan dasar-dasar kemasyarakatan Islam, sebagai berikut:
1. Mendirikan Masjid untuk tempat berkumpul dan bertemu disamping untuk beribadah kepada Allah. Pada mulanya, masjid dapat dipakai sebagai tempat untuk mengadili perkara, jual beli, dan sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya, dipisahkanlah antara tempat shalat dan untuk jual beli demi menjaga kekhusukan beribadah. Masjid yang dibangun Nabi bersama kaum muslimin ini merupakan ruangan yang luas, temboknya terbuat dari batu bata dan tanah, beratap daun kurma di sebagian, sedangkan di bagian lain dibiarkan terbuka. Di bagian lain lagi diperuntukkan bagi fakir miskin yang tidak berumah, yang menempati sisi yang beratap (suffah) sehingga mereka disebut ahl al-Suffah.[6]
2. Mempersaudarakan antar kaum muslim, baik antar muhajirin maupun antara Muhajirin dan Anshar. Kaum Muhajir adalah orang Mekkah yang hijrah ke Madinah. Sementara kaum Anshar adalah penduduk Madinah yang menolong Rasulullah dan kaum Muhajir. Muhajirin dalam keadaan miskin di tempat tinggal yang baru karena mereka tidak membawa harta kekayaannya yang ada di Mekkah.
Rasulullah SAW mengambil contoh dengan mengambil Ali ibn Abu Thalib sebagai saudaranya sendiri. Hamzah, pamannya dipersaudarakan dengan Zaid ibn Haritsah, dahulu hamba sahaya Nabi dan termasuk orang yang pertama masuk Islam. Abu Bakar Shidiq dipersaudarakan dengan Kharijah ibn Zuhair. Ja’far ibn Abu Thalib dipersaudarakan dengan Muadz ibn Jabal. Umar ibn Khattab dipersaudarakan dengan ‘Itban ibn Malik al-Khazraji. Nabi juga mempersaudarakan antara kaum Muhajir dan Kaum Anshar.[7] Mereka saling tolong-menolong bahkan membagikan rumah yang mereka miliki dan harta mereka. Persaudaraan ini terjadi lebih kuat daripada hanya persaudaraan yang berdasarkan keturunan. Dengan persaudaraan ini, Rasulullah telah menciptakan sebuah kesatuan yang berdasarkan agama sebagai pengganti dari persatuan yang berdasarkan kabilah.[8]
3. Membuat perjanjian untuk saling bekerja sama dan saling membantu antara kaum muslim dan non-muslim. Masyarakat Madinah waktu itu terdiri dari 12 kelompok mengadakan perjanjian yang dikenal Piagam Madinah. Mereka diwakili oleh tiga kelompok besar, yaitu kaum muslim, orang Arab yang belum masuk Islam dan kaum Yahudi dari Bani Nadir dan Bani Quraizah. Dalam Piagam Madinah tersebut berisi lima perjanjian yang disepkati, yaitu:
a.  Tiap kelompok dijamin kebebasannya dalam beragama.
b.  Tiap kelompok berhak menghukum anggota kelompoknya yang bersalah.
c. Tiap kelompok harus saling membantu dalam mempertahankan Madinah, baik muslim maupun yang non-muslim.
d. Penduduk Madinah semuanya sepkat mengangkat Muhammad sebagai pemimpinnyadan memberi keputusan hukum segala perkara yang dihadapkan kepadanya.
e. Meletakkan landasan berpolitik, ekonomi, dan kemasyarakatan bagi negeri Madinah yang baru terbentuk.[9]
4. Peletakkan dasar-dasar politik, ekonomi, dan sosial. Dasar berpolitik dalam negeri Madinah antara lain ialah prinsip keadilan yang harus dijalankan kepada setiap penduduk tanpa pandang bulu. Kesamaan derajat antara manusia yang satu dengan yang lain, yang membedakan antara mereka ialah ketaqwaan kepada Allah semata. Yang lain adalah prinsip musyawarah untuk memecahkan segala persoalan dengan dalil al-Qur’an Q.S al-Syura: 38.
Pemerintahan yang dibentuk Nabi di Madinah, terdapat beberapa hal yang prinsipel dan pokok seperti termuat dalam Piagam Madinah, terdiri dari 47 pasal di antaranya adalah negara dan pemerintahan  Madinah adalah bercorak teokrasi yang dikepalai oleh seorang Rasul yakni Muhammad dan ia adalah pemimpin agama. Ia membuat UU atas dasar al-Qur’an. Walaupun Nabi adalah kepala pemerintahan, namun kedaulatan ada di tangan Allah.
Untuk mengendalikan pemerintahan Nabi di Madinah juga sudah ada sebuah sekretariat negara, negara juga terbagi menjadi 9 provinsi yang dikepalai oleh seorang wali (gubernur), dan sebanyak dua puluh satu yang dikepalai oleh seorang ‘amil yang tugas utamanya sebagai tax collector. Ada sumber-sumber pendapatan negara seperti: ghanimah, zakat, jizyah (pajak keamanan), kharaj (pajak tanah bagi non-muslim) dan al-fay. Selain itu, ada Departemen Kehakiman yang dikepalai oleh Nabi, juga ada Pertahanan dan Bidang Keagamaan.[10]
Pada masa pemerintahan Nabi di Madinah juga banyak terjadi peperangan sebagai upaya kaum muslimin dalam mempertahankan dalam mempertahankan diri dari serangan musuh. Di awal pemerintahan, Nabi melakukan ekspedisi ke luar untuk mempertahankan dan melindungi negara yang baru dibentuk. Perjanjian dengan kabilah-kabilah di sekitar Madinah dilakukan dengan maksud memperkuat kedudukan negara. Untuk menghadapi kemungkinan serangan musuh, Nabi membuat siasat dan membentuk pasukan perang. Umat Islam diizinkan perang karena dua alasan:
a.  Untuk melindungi diri dan melindungi hak milik.
b. Untuk menjaga keselamatan dalam penyebaran kepercayaan dan mempertahankan diri dari penghalang.[11]
Beberapa perang yang pernah terjadi dalam rangka menentukan masa depan negara Islam antara lain:

1. Perang Badar

Persoalan antara kaum Muslimin Madinah dengan kaum Quraisy belum selesai. Hal ini antara lain menegnai masalah perdagangan Quraisy yang sewaktu-waktu dapat diganggu oleh kaum Muslimin Madinah karena letak Madinah yang menghubungkan jalur perdagangan antara Syam di utara kota itu dan Makkah di selatan kota Nabi tersebut. Pada tahun kedua Hijriyah di bulan Ramadhan terjadilah perang Badar al-Kubra, antara kaum Muslimin Madinah di bawah pimpinan Rasulullah saw. Melawan kaum Quraisy dengan sebab-sebab antara lain ialah Quraisy ingin melenyapkan musuhnya, padahal mereka telah merampas harta kaum Muslimin di Makkah. Sebab langsung perang ini ialah ketika kaum Muslimin menahan kafilah Quraisy pimpinan Abu Sufyan.
Medan pertempuran terjadi di dekat sumur Badr antara Makkah dan Madinah. Sumur itu kepunyaan seorang yang bernama Badr sehingga dikenal dengan perang Badar.

2. Perang Uhud

Perang Uhud terjadi di kaki Gunung Uhud yang terletak di utara Madinah pada pertengahan bulan Sya’ban tahun ke-3 Hijriyah. Sebab-sebab perang adalah kaum Quraisy ingin menebus kekalahan yang dideritanya pada waktu perang Badar.
Nabi saw. Mengatur posisi pasukan sesampainya di bukit Uhud. Limapuluh orang pemanah yang handal di bawah pimpinan Abdullah ibn Jabir diletakkan oleh Nabi di tempat yang dapat dimasukki oleh pasukan musuh untuk memukul pasukan Islam dari belakang. Kemudian mulailah perang tanding satu lawan satu sebelum pertempuran massal terjadi. Keluarlah Talhah ibn Abi Talhah dari Quraisy yang dilawan oleh Ali ibn Abi Thalib, dan terbunuhlah Talhah. Disusul oleh Usman, saudara Talhah, yang mati terbunuh ditangan Hamazah. As’ad, saudara Talhah yang lain keluar pula, namun nasib malang, ia terbunuh ditangan Ali ibn Abi Thalib. Satu lagi saudara Talhah keluar, yakni Musami’ yang juga tewas terbunuh.
Pada awal pertempuran kaum Muslimin memperlihatkan kemenangannya. Tetapi pasukan pemanah yang ditempatkan oleh Nabi di posnya tadi meninggalkan kedudukannya lantaran silau dengan harta rampasan perang sebagaimana dilakukan oleh pasukan yang lain, yang berakibat fatal. Pasukan Khalid dapat memasuki wilayah strategis tadi dan ganti memukul pasukan Muslimin, sehingga kacau balaulah pasukan yang dipimpin langsung oleh Nabi itu, yang akhirnya pasukan Muslimin menderita kekalahan. Kalau dilihat kekalahan kaum muslimin ketika hampir selesai perang Uhud ialah karena mereka berani melanggar perintah Rasulullah untuk tidak meninggalkan tempat yang telah ditentukannya hanya lantaran mengejar duniawi, harta rampasan perang yang memang melimpah.

3. Perang Khandaq

Perang Ahzab atau Khandaq terjadi pada bulan syawal tahun ke 5 Hijriyah, bertempat disekitar Madinah. Dinamakan Ahzab atau sekutu karena Quraisy mengajak suku-suku lain untuk bergabung, dan dikatakan Khandaq karena disekitar Madinah terutama dibagian utara kota digali parit atas usul Salman Alfarisi untuk mempertahankan kota dari serangan musuh.
Rupanya jalan kemenangan bagi kaum Muslimin telah kelihatan samar-samar tatkala seorang yang bernama Nu’aim ibn Mas’ud, seorang pemimpin Arab yang telah masuk Islam dan datang kepada Rasulullah menawarkan diri untuk membantu Nabi dengan cara apa saja yang diperintahkan oleh Rasul, ia akan jalankan.[12]
Sudah lama kaum Muslimin bermukim di Madinah, kira-kira 6 tahun, waktu yang cukup untuk memendam rindu. Kaum Muslimin ingin melihat kampung halamnnya dan menengok sanak saudaranya yang ditinggalkan di Makkah. Mereka merencanakan mengerjakan Umrah pada bulan yang dihormati bagi bangsa Arab yang dilarang didalamnya untuk menumpahkan darah. Mereka bersama Rasulullah saw. Kira-kira 1000 orang berangkat ke Makkah dengan pakaian Ikhram putih-putih, tanpa membawa senjata kecuali pedang yang ada disarungnya untuk membela diri dijalan.walau demikian kaum Quraisy tidak percaya kedatangan Muslimin tadi untuk Umrah, mereka mengira bahwa kaum Muslimin itu datang ke Makkah untuk berperang. Kaum Quraisy berusaha menghambat kedatangan kaum Muslimin dengan mencegat mereka namun ternyata mereka melewati jalan yang lain. Ketika sampai di tempat yang bernama Hudaibiyah Rasulullah mengutus Usman ibn Affan ke Makkah untuk mengadakan pembicaraan dengan Quraisy. Usman ditahan oleh Quraisy dan diisukan bahwa ia dibunuh oleh musuh. Tapi kemudian Usman datang, menghilangkan kekhawatiran bagi Quraisy dan diadakan perundingan antara kedua kelompok itu yang dinamakan perjanjian Hudaibiyah.[13] Adapun isinya yaitu:
1. Kaum Muslimin boleh mengunjungi ka’bah tetapi ditangguhkan sampai dengan tahun depan.
2. Lama kunjungan dibatasi sampai tiga hari saja.
3. Kaum Muslimin wajib mengembalikan orang-orang Makkah yang melarikan diri ke Madinah, begitu pula sebaliknya.
4. Diadakan genjatan senjata antara masyarakat Makkah dan Madinah selama sepuluh tahun.
5. Setiap kabilah bebas untuk masuk ke dalam persekutuan kaum Quraisy ataupun kaum Muslimin.[14]

BAB III
PENUTUP

A.  Simpulan

Kota Madinah yang dahulunya bernama Yastrib merupakan kota terpenting sesudah Mekkah di Hijaz. Kota Madinah adalah sebuah negeri yang tanahnya subur dan banyak airnya. Wilayah ini dikelilingi oleh tanah tak berpasir dari empat penjuru arah.
Hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah membawa perubahan yang baik bagi masyarakat Madinah. Ketika di Madinah, Nabi Muhammad berperan sebagai kepala negara sekaligus kepala angkatan bersenjata, ketua pengadilan, dan tanggung jawab atas departemen-departemen yang dibentuknya serta sebagai pemimpin agama. Dengan pindahnya Nabi ke Madinah, Nabi juga berhasil meletakkan dasar-dasar kemasyaraktan Islam, diantaranya mendirikan masjid untuk tempat berkumpul dan bertemu disamping untuk beribadah kepada Allah; mempersaudarakan antar kaum Muslimin, baik antar kaum Muhajir maupun antara kaum Muhajir dan Anshar; membuat perjanjian untuk bekerja sama dan saling membantu antara kaum Muslim dan non-Muslim serta peletakkan dasar-dasar politik, ekonomi, dan sosial. Adapun kebudayaan yang ada pada masyarakat Madinah diantaranya saling tolong-menolong antar sesama, adanya persamaan derajat, perang, dan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA


Al-Umuri, Akram Dhiya. 2004. Seleksi Sirah Nabawiyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif. Terjemahan oleh Abdul Rosyad Shidiq. Jakarta: Darul Falah.
Karim, M. Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka.
Khoiriyah. 2012. Reorientasi Wawasan Sejarah Islam: Dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam. Yogyakarta: Teras.
Mufrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Ummatin, Khoiro. 2013. Sejarah Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Teras.



[1] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam: Dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 7-8.
[2] Akrm Dhiya Al-Umuri, Seleksi Sirah Nabawiyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif, Terjemahan oleh Abdul Rosyad Shidiq (Jakarta: Darul Falah, 2004), hlm. 226.
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 16-18.
[4] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 24.
[5] Khoiro Ummatin, Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 52-53.
[6] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka, 2007), hlm. 68.
[7] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran..., hlm. 68-69.
[8] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam...,  hlm. 63-64.
[9] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam..., hlm. 69-70.
[10] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam..., hlm. 74-75.
[11] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam.., hlm. 40-41.
[12] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab..., hlm. 29-34.
[13] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab..., hlm. 35-36.
[14] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam..., hlm. 44.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Soal Menghitung Zakat Fitrah

Contoh Teks MC Pelantikan Pengurus

Materi PAI Kelas 6 Bab 4 Ayo Membayar Zakat ppt